“Berbagai praktik parawatan diri tradisional Bima ditemukan dalam studi ini, seperti ‘lo’i nono’ (obat minum herbal), ‘lo’i bore’ (obat balur), ‘mama-sampuru’ (pengobatan kunyah-sembur), ‘isu-cena’ (obat yang diembunkan semalam untuk kepala), hingga ‘kece kau’a’ (pijat urat tradisional). Tak hanya itu, pendekatan spiritual melalui zikir dan doa juga menjadi bagian integral dalam praktik penyembuhan,” ungkap Promovenda yang pernah bekerja di RSUD NTB 1999-2008 tersebut.
Martiningsih mengungkapkan, masyarakat juga masih memercayakan penyembuhan kepada para pengobat tradisional atau “sando”, dan melakukan pemeriksaan tekanan darah hanya jika gejala dirasa mengganggu. Di daerah pedalaman, penggunaan kulit pohon sebagai bahan obat masih dilakukan, mencerminkan kekayaan pengetahuan lokal dalam pengobatan tradisional.
“Penelitian ini juga mengungkap adanya lima dimensi budaya yang menjadi pijakan dalam praktik perawatan diri pasien, yaitu: nilai budaya dan cara hidup, aspek spiritual dan agama, peran keluarga dan sosial, faktor biologis, serta teknologi dan layanan kesehatan. Semua aspek tersebut saling terkait dalam membentuk perilaku “self-care” (praktik menjaga dan meningkatkan kesehatan fisik mental dan emosional seseorang) yang otonom namun sangat kental dengan identitas budaya,” ungkap Promovenda.
Martiningsih menekankan, pemahaman terhadap sistem kepercayaan dan budaya lokal ini penting bagi perawat agar bisa merancang asuhan keperawatan yang lebih empatik, personal, dan dapat diterima oleh pasien. Pendekatan yang mengabaikan aspek budaya justru berisiko menurunkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan memperbesar kesenjangan layanan kesehatan.
Dorong Keperawatan Kontekstual
Riset yang dilakukan Martiningsih ini mempertegas komitmen FIK UI dalam memajukan ilmu keperawatan berbasis evidence (fakta pendukung) dan berakar pada realitas sosial-budaya Indonesia. Melalui pendekatan “ethnonursing” (pendekatan keperawatan yang mempertimbangkan budaya dan nilai-nilai pasien dalam memberikan perawatan), Martiningsih telah menunjukkan bahwa pelayanan keperawatan yang bermakna tidak hanya ditentukan oleh protokol medis, tetapi juga oleh pemahaman terhadap nilai-nilai hidup masyarakat yang dilayani.
FIK UI menyampaikan apresiasi yang tinggi atas kontribusi Dr. Martiningsih dalam memperluas cakrawala praktik keperawatan berbasis budaya. Temuan dari disertasi ini dapat menjadi dasar penting dalam pengembangan model asuhan keperawatan holistik, khususnya di komunitas yang memiliki budaya kuat, sekaligus menjadi wujud nyata semangat FIK UI Unggul dan “impactful” (berpengaruh kuat) dalam menjawab tantangan kesehatan masyarakat secara kontekstual.