Zakat: Dari Konsumtif ke Produktif, Menuju Mustahik yang Mandiri

Lebih jauh, penelitian-penelitian kontemporer menunjukkan bahwa zakat produktif dapat meningkatkan kualitas hidup mustahik asalkan dikelola secara adil, transparan, dan tetap berpegang pada prinsip syariah (E-Journal Universitas Darussalam Gontor).

Baru-baru ini, hadir regulasi nasional yang memperkuat praktik tersebut secara resmi. Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) menerbitkan PMA 16 Tahun 2025, sebuah regulasi yang memungkinkan dana zakat dikelola dalam bentuk usaha produktif.

Ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan pembuka jalan bagi zakat agar dapat “bekerja” dan memberikan dampak nyata, berupa modal usaha, alat produksi, pelatihan, hingga pendampingan bagi mustahik (lampung.baznas.go.id).

PMA 16/2025 yang ditetapkan pada 14 Oktober 2025 dan berlaku mulai 16 Oktober 2025, mengatur bahwa zakat dapat digunakan untuk usaha produktif dengan syarat bahwa kebutuhan dasar mustahik (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) telah terpenuhi. Artinya, pemanfaatan zakat produktif tidak boleh mengabaikan kebutuhan primer mustahik.

Bentuk usaha produktif yang diperbolehkan antara lain:
• pemberian modal usaha
• fasilitasi sarana produksi
• pengembangan jejaring usaha
• peningkatan kualitas produksi
• pelatihan, bimbingan teknis, serta akses pendidikan/beasiswa bagi fakir dan miskin.

BACA JUGA:  Anak-Anak Palestina dalam Spiral Kekerasan

Regulasi ini mewajibkan setiap lembaga zakat menjalankan empat tahap pendayagunaan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan. Pelaporan berkala (setiap 6 bulan dan akhir tahun) disyaratkan agar penggunaan zakat transparan dan akuntabel.

Selain itu, PMA ini juga mendorong lembaga zakat untuk memiliki sistem monitoring yang lebih rapi sehingga perkembangan mustahik dapat ditracking secara terukur.

Meskipun mendapat payung hukum, pelaksanaan zakat produktif tetap menghadapi tantangan:
• Risiko Usaha: Zakat adalah dana tabarru’ (hibah), bukan qardh (pinjaman), sehingga risiko kegagalan harus menjadi bagian dari program dan tidak boleh dibebankan kepada mustahik.
• Kepemilikan Aset dan Transparansi: Aset atau modal usaha harus menjadi milik mustahik, bukan milik lembaga amil. Biaya manajemen dan pendampingan boleh diambil dari bagian amil atau fii sabilillah.

Selain itu, tantangan lain yang sering muncul adalah rendahnya literasi keuangan mustahik, lemahnya manajemen usaha kecil, serta kurangnya pendampingan berkelanjutan.

Agar zakat produktif berhasil, pendampingan intensif menjadi kunci, mulai dari pelatihan dasar usaha, pencatatan keuangan sederhana, hingga membangun jejaring pemasaran