Transaksi Perasaan

_By Humilis Rahman Rumaday_

NusantaraInsight, Makassar — Kadang saya suka merenung sendiri, bahwa logika dalam berteman itu ternyata sederhana tapi dalam. Dulu saya pikir, semakin banyak teman semakin baik. Tapi seiring waktu, saya belajar bahwa yang penting bukan jumlahnya, tapi kualitasnya apa yang menjadi dasar dari hubungan itu.

Saya pernah berada di lingkaran pertemanan yang terasa hangat, ramai, penuh tawa. Tapi ketika satu demi satu hal duniawi bergeser, jabatan tidak lagi sama, rezeki tidak lagi deras, atau sorotan tidak lagi mengarah, semuanya perlahan meredup.

Saat itu saya baru sadar, bahwa jika pertemanan dimulai dari materi, maka ia hanya akan bertahan *”seperlunya”* dan *”sesaat.”* Tidak abadi.

Kalau seseorang melihat pertemanan karena jabatan, karena apa yang bisa didapat, maka sejatinya itu bukan pertemanan, tapi *transaksi perasaan.* Dan transaksi, sebaik apapun, selalu punya masa kadaluarsa.

Saya jadi teringat pada pandangan ilmu neurosains tentang cinta: *_”Cinta yang sesungguhnya bukanlah yang menggebu-gebu di awal pandangan. Itu baru sebatas atraksi, bukan kedalaman rasa.”_* Saya kira, pertemanan pun begitu. Banyak hubungan yang tampak akrab di permukaan, tapi sebenarnya hanya *atraksi sosial,* karena ada pamrih, karena ada harapan tersembunyi. Bukan karena ketulusan.

BACA JUGA:  Mualim, "Fotografer" Cilik di Pantai Losari

Di titik itu saya belajar bahwa kalau ingin hadir dalam pertemuan dan pertemanan dan tetap dianggap tanpa perlu membawa jabatan atau materi, maka bawalah lima hal yakni nilai, ide, gagasan, manfaat, dan solusi. Itulah yang membuat seseorang tetap *”ada”* meski tanpa sorotan, tetap dihargai meski tanpa gelar.

Maka saya belajar satu hal yakni *_”biarlah saya hadir di lingkaran pertemuan dan pertemanan *_”bukan kemewahan, tapi nilai. Bukan kekuasaan, tapi ide. Bukan pencitraan, tapi gagasan. Bukan kepentingan, tapi manfaat. Dan bukan ambisi, tapi solusi.”_*

Saya teringat kata C.S. Lewis, “_”Persahabatan lahir pada saat satu orang berkata kepada yang lain: ‘Apa! Kamu juga? Aku kira aku satu-satunya.”_* Di situlah pertemanan sejati dimulai *dari kesamaan nilai, bukan kesamaan kepentingan.*

Dan kadang, teman sejati itu bukan yang selalu ada di setiap momen senang, tapi yang *mampu menegur dengan lembut saat kita salah arah.* Karena sesungguhnya, pertemanan yang baik adalah yang menumbuhkan, bukan yang membuat kita lupa arah.

BACA JUGA:  Perjalanan Menuju Kampus Ilmu

Saya belajar memandang teman bukan dari apa yang mereka punya, tapi dari apa yang mereka bawa dalam jiwanya. *_”Orang yang datang membawa nilai akan selalu bernilai, bahkan ketika keadaan berubah.”_*

br