_By Humilis Rahman Rumaday_
NusantaraInsight, Makassar — Kadang saya berbincang dengan diri sendiri bukan karena sepi, tapi karena ingin mendengar gema hati yang sering tenggelam oleh suara dunia.
Dalam percakapan itu, saya bertanya pelan, _”Apa sebenarnya kalimat cinta paling romantis dari Allah?”_ Saya menunggu, dalam diam yang panjang, seperti menanti surat dari langit. Lalu hati saya berbisik lembut, _”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”_
Saya tertegun. Kalimat yang sering terucap saat kehilangan itu, ternyata bukan sebatas kabar duka, *_melainkan pelukan lembut dari Tuhan kepada jiwa yang rapuh._* Ia seperti titik temu penanda arah pulang ketika hati mulai tersesat, ketika langkah menjauh dari cahaya. _”Dari mana saya datang? Ke mana saya hendak pergi?”_ tanya saya lagi, menatap langit yang diam. Dan dari dalam diri, suara itu menjawab lirih, _”Kau datang dari-Nya, dan akan kembali kepada-Nya.”_
Dalam diam saya merenung. Betapa sering kita menaruh makna pada yang fana, jabatan, nama, pencapaian, padahal semua itu hanya persinggahan.
Lalu saya bertanya lagi, _”Jika semua akan kembali, apa yang sejatinya abadi?”_ Hati saya menjawab, _”Yang abadi hanyalah hubunganmu dengan Allah. *”Kata-kata itu menampar lembut, sekaligus menenangkan.”_ Saya sadar, _”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”_ bukan hanya mantra kesabaran saat kehilangan, tapi juga cahaya penunjuk arah kehidupan. Ia menenangkan ketika gelisah, menuntun ketika bingung, memeluk ketika merasa jauh.
Jalaluddin Rumi pernah menulis, _”Kita bukanlah ciptaan dunia, tapi pengelana dari keabadian yang sedang mencari jalan pulang.”_ Barangkali di situlah makna terdalam dari kalimat itu. Setiap kejadian adalah peta, setiap perasaan adalah koordinat. Dan di antara koordinat-koordinat itu, ada satu titik paling jernih titik tempat jiwa menemukan rumahnya sendiri.
Kini, setiap kali hati terasa berjarak, saya menutup mata dan berbisik pada diri, _”Segalanya datang dari-Nya, dan kepada-Nya pula kembali.”_ Di sanalah, dalam kesadaran yang hening, saya menemukan rumah yang tak lagi berupa tempat, melainkan rasa. Di titik itulah jiwa saya berhenti mencari, karena telah sampai pada *titik temu* titik pulang yang sejati.
_Parang Tambung, 27/10/2025 | pukul : 03.00 dinihari_

br






br






