TITIEK PUSPA DAN HIDUP YANG JENAKA

Titiek Puspa

Mungkin itu rambutnya, dahinya
Semuanya biasa saja
Coba aku lihat lagi yang mana yang menarik

Mungkin itu matanya, hidungnya
Semuanya biasa saja
Makin aku memandangnya
Makin aku jatuh hati

Apa, apa, apanya dong
Apanya dong, apanya dong
Dang ding dong

Lama-lama kupikir kupikir
Apa kuat
Untung masih punya gengsi
Masa aku yang bilang dulu

Lama-lama kupikir kupikir
Apa kuat
Sebelah hatiku mau
Sebelah hatiku malu

Lagu ini merayakan rumitnya cinta—dan justru di situlah kekuatannya. Dalam lirik yang tampak jenaka, tersembunyi potret jujur tentang daya tarik yang tak logis.

Cinta tak lahir dari logika atau kalkulasi estetika. Rambut, mata, hidung—semuanya “biasa saja.” Namun justru hal biasa itulah yang memikat.

Di balik “apanya dong?”, kita temukan kebingungan batin yang tulus: mengapa aku jatuh hati, padahal tak ada yang istimewa?

Irama ceria dan pengulangan absurd seperti “dang ding dong” menjadi simbol dari pikiran yang berputar-putar. Itu antara malu, gengsi, dan ketertarikan yang tak terhindarkan.

BACA JUGA:  Tukang Bikin Spanduk

Lagu ini membebaskan kita dari tuntutan sempurna dalam cinta. Ia menunjukkan: jatuh cinta tak perlu alasan, dan seringkali, yang paling membekas justru yang paling lucu dan membingungkan.

-000-

3. Dansa Yo Dansa (1980)

Dansa Yo Dansa lagu yang dirilis pada tahun 1980 dengan nuansa yang ceria. Ia mengajak pendengarnya untuk menari dan melupakan kesedihan.

Lirik:

Dansa yo dansa buat apa kau bermuram durja.
Habis waktumu dengan percuma.
Hati nelangsa buat apa

Dansa yo dansa carilah temanmu yang sebaya.
Apalagi dia yang kau cinta.
Jangan dicari yang tak ada

Ku disini kau disana.
Ku menyanyi kau berdansa.
Kau asyik dengan si dia tancap kiri trus kanan,
asyik

Dansa yo dansa.
Hari ini hari yang bahagia
Hari ini untuk suka ria dansalah dansa gembira

Lagu “Dansa Yo Dansa” adalah terapi jiwa dalam bentuk musik. Ia mengajak kita menari bukan karena semua baik-baik saja, tapi justru karena hidup kadang terlalu rumit untuk direnungkan terus-menerus.

BACA JUGA:  Catatan dari Gustal (1): Berwisata Laut Sembari Bernostalgia

Liriknya menyuarakan kebijaksanaan yang jenaka: mengapa bermuram durja jika kita bisa berdansa dan berbagi suka ria?

Dalam psikologi positif, tubuh yang bergerak—menari, bernyanyi—dapat membebaskan endorfin. Lagu ini menjadi jembatan dari kesedihan menuju pelepasan.

Ada ironi yang menyentuh: di tengah hati yang nelangsa, kita justru diajak untuk “tancap kiri trus kanan.” Ini bukan pengingkaran rasa, tapi pelampiasan yang sehat.

Dansa di sini bukan sekadar gaya, tapi simbol dari pilihan: tetap hidup meski luka.

Lagu ini adalah pelukan hangat dengan irama. Sebuah pengingat: tak semua duka butuh air mata—kadang cukup satu lagu yang mengajak menari.