Salam cinta K-apel
Salam cinta semesta
NusantaraInsight, Makassar — Minggu 26 Oktober 2025, Hujan turun sejak siang di kota Daeng, seperti sedang menulis puisinya sendiri lewat bunyi air yang menepuk aspal. Suaranya berirama, seperti sedang berdzikir dalam bahasa alam.
Air menggenang di mana-mana, nongkrong di sudut-sudut jalan, seolah ikut menikmati suasana Minggu yang malas.
Kadang saya berpikir, air itu mungkin cuma bingung mencari jalan pulang atau mungkin sedang menegur kita, “Hei, siapa yang lupa memperbaiki saluran air?”
Tapi ya, jangan tanya saya. Tanya saja pada pohon-pohon yang diam tapi tahu segalanya dari musim ke musim. Seperti kata “Diam adalah bahasa Tuhan, semua yang lain hanyalah terjemahan yang buruk.” ~ Jalaluddin Rumi
Dua hari sebelumnya kami sudah janjian lewat sambungan telepon. Dan hari ini, meski langit menumpahkan seluruh
rindunya dalam bentuk hujan, kami tetap bertemu di sebuah kafe di tengah kota yakni kafe Mama. Hujan tidak jadi alasan untuk menunda perjumpaan ini.
Ada semacam kesepakatan diam-diam antara jiwa kami, beberapa pertemuan tidak pernah benar-benar kebetulan. “Tidak ada yang terjadi secara kebetulan,” tulis Paulo Coelho, “Semua pertemuan adalah pelajaran atau berkah.”
“Masya Allah, sudah lebih dari satu dekade ya,” kata saya membuka percakapan.
Kawan saya tersenyum. Namanya Husein Wattimena, saya biasa memanggilnya Pak Kiai, kawan saya ini merupakan pendiri Pondok Pesantren Al-Qudwah di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), provinsi Maluku.
“Waktu cepat sekali ee…,” balasnya dengan gaya logat maluku. “Rasanya baru kemarin kita di Ma’had Al-Birr, dan sekarang…”
“Sekarang sudah jadi imam di pesantren sendiri,” sela saya sambil tersenyum.
Kami pertama kali kenal di tahun 2005, sama-sama kuliah di Ma’had Al-Birr Makassar. Dia utusan dari Maluku dan fokus di tahfiz, sementara saya dari Fakfak, Papua Barat, belajar dirasah islamiyyah. Satu dekade lebih kami tidak bersua, tapi hari ini Allah pertemukan lagi. Dan saya percaya, bukan tanpa alasan. Seperti kata Ibn ‘Ataillah, “Tidaklah engkau rindu, kecuali kepada sesuatu yang memang sedang menunggumu.”
Kawan saya ini sudah beberapa bulan berada di Makassar, menemani istrinya yang sedang menyelesaikan ujian akhir profesi dokter spesialis yang insya Allah akan diwisuda Selasa nanti, 28 Oktober 2025, di Unhas.
Dalam perjumpaan itu, saya menyerahkan dua buku yakni Maharku Pedang dan Kain Kafan jilid 1 dan 2.
“Ini oleh-oleh kecil, Kiai. Semoga bermanfaat,” kata saya.
ia menerimanya dengan dengan senyum khasnya yang tidak berubah sejak kami kenal. “Ente masih menulis ya?”
“Saya menulis agar ingatan tidak menjadi asing,” jawab saya pelan.
Kawan saya ini tersenyum. Mungkin ia tahu, menulis bagi saya bukan sebatas mencatat, tapi juga menyembuhkan….”


br






br






