Tantangan di Balik Usaha Reklame, dan Jalan AP Pettarani Makassar

Iwan Azis melanjutkan, kala itu, usaha reklame belum menjadi daya tarik bagi banyak kalangan. Belum dilihat potensi bisnisnya dan memberi dampak bagi kehidupan pelaku usahanya. Sehingga, hanya ada beberapa gelintir orang yang punya usaha reklame.

Reklame dalam tulisan ini, yakni reklame luar ruang, atau Out-of-Home (OOH) advertising. Ia adalah bentuk periklanan yang berada di ruang publik guna membangun kesadaran merek dan menjangkau audiens yang lebih luas, yang tengah melakukan aktivitas di luar rumah.

Media reklame jenis ini macam-macam, juga bisa sangat kreatif dan inovatif. Di antaranya billboard, baliho, megatron, videotron, spanduk, neon box, dan lain sebagainya.

Kini usaha pembuatan reklame sudah berupa digital printing, yang relatif lebih praktis dan ringkas. Ada efisiensi dalam pengerjaan desainnya. Namun, tetap punya tingkat kesulitan saat bongkar pasang.

Pengerjaan reklame yang notabene di luar ruang ini, kerap memakan korban. Pekerjanya berisiko, bisa jatuh dan terkena sengatan listrik. Ini pekerjaan dengan risiko tinggi juga.

“Kalau pasang reklamenya tidak hati-hati bisa terkena musibah. Bisa kesetrum, atau jatuh, yang berakibat cedera, bahkan meninggal,” ungkap Iwan Azis.

BACA JUGA:  Dr H Syahriar Tato dan Komunitas Makkareso (Makassar Creative Society)

Beliau mengibaratkan usaha reklame bagai kaleng kurma. Karena sering diangkut dan berpindah-pindah, kalengnya keppo-keppo (penyot) tetapi kurmanya sendiri masih bagus. Cuma orang hanya melihat tampilan kalengnya, yang terkesan rusak, sehingga membuatnya tidak tertarik.

Kondisi usaha reklame ya seperti itu di masa awal. Bisnisnya masih tergantung dari Jakarta, rentang birokrasinya panjang. Maka, kata dia, ada teman-temannya yang muncul sebagai pemain yang terpisah dari Jakarta.

“Banyak pintu yang mesti dilewati, dan itu bukan pintu pemerintah, melainkan pintu-pintu yang dibuat sendiri oleh kita. Ya, kata lugasnya itu, banyak broker yang mesti disuapi,” tambah lelaki yang pernah aktif sebagai wartawan itu.

Contohnya, papar Iwan Azis, kalau ada yang mau pasang iklan produk tertentu, dia akan ditanya, mau kasi berapa persen, nanti dicarikan titik reklamenya. Ini juga berisiko, sebab seandainya posisi reklamenya mestinya melintang (lanskap), sementara reklame yang dipasang berdiri (vertikal/portrait) maka bisa terkena komplain.

Kalau lampu reklamenya mati, dan tidak terlihat pada malam hari, bisa-bisa terkena komplain lagi. Untuk lampu ini, harus juga berurusan dengan PLN. Dahulu, belum ada pekerja yang mahir untuk itu. Sekarang sudah ada yang sisa tangani, yakni anak-anak alumni STM.

BACA JUGA:  Membangun Moralitas Remaja dengan Pendidikan Agama Islam: Tantangan dan Solusi

Sekarang, kata dia, sudah banyak bermunculan pengusaha reklame. Bahkan ada yang mantan-mantan pejabat. Sehingga terjadi seperti yang bisa dilihat oleh masyarakat di lapangan.