Jika sekarang Raja Ampat di Papua gaduh, hal itu karena Greenpeace, organisasi yang selama ini dikenal membela kelestarian alam dan ekowisata, menggugat. Para aktivisnya menilai, penambangan nikel di Papua bakal mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekowisata masyarakat setempat. Diketahui, kawasan Raja Ampat memiliki kekayaan alam sebesar 75 persen untuk spesies terumbu karang di dunia, 1.400 jenis ikan karang, dan 700 invertebrata jenis moluska. Bahkan terdapat salah satu jenis ikan langka di dunia yaitu ikan pari manta (Mobula birostris).
Namun, kenapa gugatan yang serupa tidak semassif di banyak daerah yang memiliki tambang nikel? Bukankah imbas kerusakannya terhadap alam pastinya tak jauh berbeda? Tentu bukan hanya nikel, esploitasi sangat banyak macamnya. Atau sudah lama berteriak tapi tidak di dengar? Entahlah bagaimana. Di poin ini, Greenpeace layak pula kiranya dikritisi. Mengapa Raja Ampat dan baru sekarang? Andai Raja Ampat bukan kawasan wisata dan penuh keanekaragaman hayati, akankah digugat juga? Namun, satu hal pasti, sudah sejak lama penguasaan tambang negeri ini dikuasai oleh asing dan masyarakat hanya kebagian imbasnya. Bahkan khusus bagi rakyat Papua, mereka ibarat berdiri menginjak emas tapi berjalan hingga kini masih tanpa alas. Miris!
Ambisi Hilirisasi Nikel
Maraknya pertambangan nikel di sejumlah kawasan di Indonesia tidak terlepas dari ambisi pemerintah untuk menjadi produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia. Ambisi yang sudah dipupuk sejak rezim Jokowi itu kini tengah digenjot. Diketahui, pada 2 Juni 2025, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut bahwa Indonesia ditargetkan masuk sebagai lima besar negara produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia pada 2040.
Menurut Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM, Edy Junaedi, selain target produksi kendaraan listrik, pada 2040 Indonesia juga ditargetkan dapat menjadi negara kedua di dunia sebagai penghasil baja nirkarat atau stainless steel terbesar. Target ini berkaitan dengan hilirisasi mineral, khususnya nikel di Indonesia yang menjadi bahan baku dari dua produk di atas. Sampai 2040 investasi downstream nikel memiliki potensial hingga US$127,9 miliar dengan potensi penyerapan tenaga kerja hingga 357.000 orang. Kontribusinya pada Gross Domestic Product (GDP) diperkirakan mencapai US$43,2 miliar dengan peningkatan ekspor US$21 miliar. Luar biasa.
Izin Penambangan Nikel di Raja Ampat Bukti Bobroknya Tata Kelola SDA Kapitalisme