Soeharto: Siluet Kekuasaan dan Bayang Sejarah

Kita bisa berdebat tentang cara, tetapi sulit menolak hasil: kemajuan pertanian, stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan posisi diplomatik yang dihormati di kancah global. Ia memimpin bangsa ini melewati masa-masa paling rapuh dalam sejarahnya — menjaga agar republik tidak terpecah oleh konflik ideologis dan pergolakan sosial. Dalam bahasa sejarah, perannya bukan sekadar administratif, melainkan transformasional.

Menolak jasa Soeharto berarti menutup mata terhadap sebagian besar perjalanan pembangunan bangsa. Ia bukan hanya pemimpin, tetapi juga simbol masa ketika Indonesia belajar berjalan dengan keyakinan baru. Dalam kerangka kebangsaan, pengakuan terhadap jasanya bukan glorifikasi, melainkan bentuk kedewasaan bangsa dalam membaca sejarah secara adil.

Kini, setelah dua dekade lebih sejak ia menutup mata, bayangan Soeharto masih menyentuh kesadaran publik — diingat dengan rindu oleh sebagian, disikapi kritis oleh sebagian lain. Tapi sejarah bukan ruang untuk membenci atau mengagungkan. Ia adalah ruang untuk menimbang dengan kepala dingin dan hati jernih. Jika Soeharto diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, itu bukan semata soal penghormatan pada sosok, tetapi pada era dan kontribusi besar yang menandai kemajuan bangsa ini.

BACA JUGA:  Drs.Basman,S.H.,M.M, Bukan Orang Baru di PGRI Palopo

Soeharto menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak selalu bersumber dari pidato, tapi dari kemampuan menciptakan arah di tengah kekacauan. Ia mengajarkan disiplin, keteguhan, dan pandangan jauh ke depan — nilai-nilai yang tetap relevan dalam pembangunan bangsa hari ini. Dalam dirinya, ada pelajaran penting bahwa membangun negeri bukan hanya tentang visi, tapi juga tentang ketekunan menjaga kestabilan di tengah badai.

Mungkin, seperti bayang senja di tembok waktu, Soeharto telah menjadi siluet — bukan dewa, bukan pula dosa, tapi jejak manusia yang berani memikul beban sejarah bangsanya. Dan jika bangsa ini akhirnya mengakui jasanya dalam gelar kepahlawanan, itu bukan karena melupakan bayang kelam, melainkan karena berani berdamai dengan sejarah: menghormati yang telah dibangun, mengingat yang harus diperbaiki, dan melangkah dengan kesadaran baru.

Karena bangsa yang besar bukan bangsa tanpa kesalahan, tetapi bangsa yang mampu menatap masa lalunya dengan jujur dan arif — sebagaimana kita menatap siluet Soeharto di cakrawala sejarah, antara jasa dan bayang, antara manusia dan waktu. (*)

br