Di Kerajaan Gowa-Tallo, I Malingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka, merupakan orang pertama yang memeluk agama Islam. Beliau kemudian bergelar Karaeng Matoaya Sultan Abdullah Awwalul Islam. Tahulah saya, nama Jalan Sultan Abdullah yang disematkan di ruas jalan itu diambil dari nama Raja Tallo VI.
Melewati pintu gerbang, saya lalu ke Jalan Sultan Abdullah II, untuk menuju ke Pantai Marbo. Di sini, saya bertemu dengan Ferdhi bersama istri dan anaknya. Kami sempat ngobrol sebentar, membincangkan kegiatan yang bisa dilakukan di sini.
Lokasi ini merupakan wilayah binaan teman-teman Ruang Abstrak Literasi. Terdapat ikon bertuliskan PANTAI MARBO dengan latar perahu-perahu nelayan dan lautan luas. Di ruang publik ini, ada pula tempat duduk dari beton, yang dibuat dengan bentuk-bentuk tertentu. Ferdhi dan teman-teman kerap menggelar lapak baca bagi anak-anak nelayan agar mereka punya akses pada buku-buku bacaan. Saya sempat hadir dalam salah satu kegiatan lapak buku.
Kami lalu berboncengan menapaki jalan beton sempit yang membelah kampung di situ. Motor kami berjalan pelan karena banyak anak-anak bermain sepeda. Ada pula yang bermain sepeda listrik.
Ferdhi menunjuk ke suatu gundukan tanah yang tertutup belukar dan bongkaran rumah. Sambil menyetir Honda Scoopy, saya menoleh ke arah yang dimaksud. Benar. Terlihat ada bekas-bekas susunan bata, yang oleh Ferdhi disebut benteng.
Di tempat berikutnya juga kami melihat bekas-bekas benteng yang memprihatinkan. Bentuknya hanya berupa susunan bata setinggi lebih satu meter. Bata-bata itu berlumut, dan nyaris akan menyatu dengan tanah.
Kami meneruskan perjalanan menuju bekas lokasi benteng berikutnya. Setelah motor di parkir di dekat pos ronda, saya bertanya pada seorang lelaki paruh baya di situ, tentang bangunan kecil berbentuk rumah. Namun, dia mengaku tidak tahu. Alasannya, dia baru datang dari Nunukan.
Di dalam rumah kecil beratap seng, dengan tiang dicat biru dan tembok semen itu terdapat kuburan. Ujung atap rumahnya mengikuti rumah tradisional Makassar, yang bersilang. Rumah itu diapit 2 tiang bendera, yang tampaknya sudah lama tidak diganti. Bendera Merah Putih yang berkibar, sore itu, terlihat kusam dan koyak pada ujungnya.
Ferdhi mengajak saya melihat-lihat bekas lokasi benteng tersebut. Menurut, informasi yang dia peroleh, tempat itu dikenal dengan nama Pa’banderang oleh masyarakat setempat. Namun, itu merupakan Petilasan Bastion Maccini Sombala.
Saya berjalan mengikuti bentuk lingkaran benteng itu dan iseng-iseng menghitung ketebalan dindingnya. Masya Allah, terdapat 12 bata disusun berlapis. Saya membayangkan, betapa kokohnya benteng itu di masanya.