Wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka mencatat 43.530 percakapan daring, jumlah yang signifikan dibandingkan menteri-menteri utama dalam kabinet.
Di urutan kedua setelah Gibran, Erick Thohir mencatat 21.223 percakapan, disusul oleh Sri Mulyani (12.210 percakapan) dan Muetya Hafid (6.582 percakapan).
Frekuensi percakapan daring adalah cerminan dari dua hal: relevansi kebijakan dan daya tarik personal.
Prabowo, dengan posisinya sebagai presiden, secara natural memimpin diskusi.
Namun, dominasi yang ekstrem ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya diukur sebagai pemimpin administratif, tetapi juga sebagai figur politik yang terus memengaruhi narasi bangsa.
Sementara itu, Gibran menunjukkan bagaimana generasi baru kepemimpinan dapat mengintegrasikan tradisi dengan inovasi, memanfaatkan kehadiran digital untuk menjadi tokoh sentral dalam diskursus publik.
Perbedaan jumlah percakapan antara Gibran dan para menteri lainnya menunjukkan kekuatan personal branding yang efektif.
Namun, angka-angka ini juga menjadi pengingat bahwa perhatian publik adalah pedang bermata dua.
Dominasi dalam diskusi daring dapat membawa pujian yang tinggi, tetapi juga mengundang kritik yang tajam.
-000-
Temuan lain yang penting adalah catatan dua hal.
Program Makan Bergizi Gratis menjadi primadona dengan ambisi besar untuk mengatasi masalah stunting dan meningkatkan kualitas generasi mendatang.
Namun, di balik potensi besar tersebut, program ini menghadapi tantangan yang tidak kecil.
1. Tantangan Implementasi yang Kompleks
Distribusi yang tidak merata di wilayah terpencil menjadi salah satu kendala utama. Infrastruktur yang belum sepenuhnya siap menyebabkan keterlambatan realisasi program di beberapa tempat.
Logistik yang terhambat ini menciptakan kesenjangan dalam manfaat yang diterima masyarakat.
2. Isu Anggaran dan Keberlanjutan
Biaya besar yang diperlukan memunculkan kekhawatiran tentang sumber pendanaan yang stabil. Ketergantungan pada impor bahan pangan juga dikhawatirkan dapat melemahkan upaya swasembada dan kemandirian nasional.
3. Komunikasi Publik yang Kurang Efektif
Kritik dari oposisi dan narasi negatif di media sosial menjadi tantangan tambahan. Isu seperti keracunan anak-anak di beberapa wilayah, meskipun insiden kecil, berpotensi memperburuk persepsi publik terhadap program ini.
Program ini, meski masih menjadi kebijakan unggulan, membutuhkan langkah-langkah perbaikan agar dapat mencapai potensinya yang sesungguhnya.
Komunikasi yang lebih baik, perbaikan logistik, dan pendanaan yang berkelanjutan adalah kunci keberhasilan ke depannya.