Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Menyebarkan kebaikan adalah sebuah niat mulia. Siapa pun yang berusaha membawa manfaat bagi orang lain tentu patut dihargai. Namun, dalam perjalanan ini, tanpa disadari, seseorang bisa saja tergelincir dalam perasaan merasa paling benar.
Ketulusan berubah menjadi kesombongan, dan kebaikan yang seharusnya mendekatkan malah menjadi sumber jarak. Maka, penting bagi kita untuk belajar menyebarkan kebaikan dengan hati rendah, tanpa merasa lebih tinggi dari orang lain.
Langkah pertama adalah menyadari bahwa kebaikan itu bukan milik kita. Apa yang kita anggap baik, bisa jadi adalah hasil dari anugerah pendidikan, lingkungan, atau pengalaman hidup yang tidak semua orang alami.
Maka, saat kita berbagi kebaikan, kita sebenarnya hanya meneruskan sesuatu yang telah lebih dulu kita terima. Ini menumbuhkan rasa syukur dan mengingatkan kita untuk tidak mengklaim kebaikan itu seolah-olah berasal dari kehebatan diri sendiri.
Selanjutnya, penting untuk mengubah cara pandang kita: menyebarkan kebaikan bukan tentang mengubah orang lain, tetapi tentang menghadirkan cahaya. Tugas kita bukan memaksa orang mengikuti jalan kita, melainkan menyalakan inspirasi. Seperti lilin yang menyala tanpa berteriak, kita cukup hadir dengan sikap yang ramah, terbuka, dan sabar. Biarkan orang lain memilih sendiri apakah mereka ingin mengambil cahaya itu atau tidak.
Menyebarkan kebaikan dengan cara ini lebih murni, karena bebas dari dorongan ingin “mengalahkan” atau “membenarkan” orang lain.
Salah satu kunci lain adalah dengan memperbanyak mendengar daripada berbicara. Ketika kita terlalu sibuk memberi tahu orang apa yang benar, kita bisa kehilangan kesempatan untuk memahami perjuangan dan kebutuhan mereka.
Mendengar dengan empati membuka ruang bagi kita untuk menyesuaikan pendekatan. Terkadang, kebaikan yang dibutuhkan orang lain bukan nasihat atau koreksi, melainkan pelukan, dukungan, atau sekadar kehadiran.
Sikap rendah hati juga berarti mengakui bahwa kita pun masih terus belajar. Kita tidak selalu benar, dan mungkin apa yang kita anggap kebaikan hari ini perlu diperbaiki di masa depan.
Dengan menyadari bahwa diri ini dalam perjalanan yang sama dengan orang lain, kita terhindar dari jebakan merasa lebih mulia. Kita semua adalah sesama peziarah dalam hidup ini, mencari jalan terbaik dengan bekal yang terbatas.
Sangat penting juga untuk tidak mengukur keberhasilan kebaikan dari hasil langsung. Tidak semua perubahan bisa segera dilihat. Kadang, sebuah kebaikan kecil yang tampak diabaikan, ternyata tumbuh perlahan dalam hati seseorang.