Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Ketika dunia internasional terus menekan Israel untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza, militer Israel akhirnya mengumumkan kebijakan yang mereka sebut sebagai “tactical pause” atau jeda taktis.
Kebijakan ini diumumkan pada 27 Juli 2025, dengan janji membuka jalur kemanusiaan selama 10 jam setiap hari, mulai pukul 10 pagi hingga 8 malam, di sejumlah area tertentu, terutama di sekitar Gaza City, Deir al-Balah, dan Al-Muwasi.
Bagi sebagian orang, keputusan ini tampak seperti secercah harapan di tengah krisis kemanusiaan yang semakin memburuk.
Namun, bagi banyak organisasi kemanusiaan dan warga Gaza yang kelaparan, kebijakan ini masih jauh dari cukup—bahkan sebagian menyebutnya tidak lebih dari sekadar langkah simbolis yang tidak menyentuh akar masalah sebenarnya.
Konteks Lahirnya “Tactical Pause”
Sejak awal 2025, Gaza terjerumus ke dalam bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern. Blokade penuh yang diberlakukan Israel sejak 2 Maret 2025 telah menghentikan hampir seluruh pasokan makanan, obat-obatan, listrik, dan bahan bakar.
Akibatnya, lebih dari 2,1 juta penduduk Gaza kini berada di ambang kelaparan, dengan sekitar 500.000 di antaranya mengalami kelaparan akut.
Tekanan global meningkat. Organisasi seperti PBB, WHO, Palang Merah, hingga sejumlah negara Barat yang sebelumnya mendukung Israel, mulai mengecam dampak kemanusiaan yang tak terkendali.
Di tengah desakan itu, militer Israel kemudian mengumumkan kebijakan “tactical pause” sebagai “langkah kemanusiaan terbatas” yang diklaim memungkinkan truk bantuan masuk ke wilayah Gaza.
Namun, jeda ini tidak bersifat gencatan senjata. Militer Israel menegaskan bahwa operasi militer terhadap Hamas tetap berjalan di luar koridor yang telah ditetapkan, dan tidak ada jaminan keamanan di wilayah lain di luar zona bantuan.
Mekanisme “Tactical Pause”
Dalam implementasinya, “tactical pause” dibatasi pada jalur khusus yang diawasi ketat oleh militer Israel. Setiap hari, selama 10 jam, jalur tersebut dibuka untuk memungkinkan:
• Masuknya truk bantuan makanan, obat-obatan, dan air bersih.
• Evakuasi medis terbatas bagi pasien yang berada dalam kondisi kritis.
• Koordinasi dengan lembaga internasional seperti Palang Merah dan beberapa badan PBB.
Meski begitu, realitas di lapangan jauh lebih rumit. Menurut laporan Washington Post, untuk menanggulangi krisis kelaparan di Gaza, minimal 120 truk bantuan per hari diperlukan.
Namun, hingga kini, jumlah yang masuk hanya mencapai belasan hingga puluhan truk, jumlah yang sangat jauh dari cukup.