Riset Tubuh dan Biografi Tubuh dalam Pementasan Borka 2025

Borka
ilustrasi pementasan teater (foto Aks)

Catatan Agus K Saputra

NusantaraInsight, AmpenanTeater Lho Indonesia, yang telah berkiprah selama lebih dari tiga dekade, dikenal sebagai kelompok teater yang terus bereksperimen dalam bentuk, isi, dan metode penciptaan.

Di bawah arahan sutradara R. Eko Wahono, kelompok ini tidak hanya menjadikan pementasan sebagai peristiwa estetika, tetapi juga sebagai proses riset yang melibatkan tubuh, ruang, dan kesadaran eksistensial aktor.

Dalam Lakon Borka, yang akan dipentaskan pada 10 Desember 2025 di Taman Budaya Mataram, dan merupakan adaptasi dari cerpen “Belfegor” karya Kiki Sulistyo, Eko memperkenalkan pendekatan yang ia sebut sebagai “riset tubuh”. Yakni suatu metode yang menempatkan tubuh aktor sebagai arsip, teks, sekaligus instrumen utama dalam menyingkap biografi personal dan kebenaran puitik.

Konsep riset tubuh ini bukan sekadar latihan fisik untuk menciptakan gestur yang indah di atas panggung. Tetapi lebih jauh lagi, merupakan upaya untuk mendengarkan tubuh, bagaimana tubuh menyimpan pengalaman, ingatan, dan sejarah individu.

“Tubuh kita meriwayatkan sesuatu,” ujar Eko Wahono.

BACA JUGA:  Realisasi APBN April 2025

Pernyataan ini menegaskan bahwa setiap tubuh adalah teks hidup, yang berbicara melampaui kata-kata dan menafsirkan naskah dengan bahasa pengalaman. Dalam konteks Teater Lho, riset tubuh menjadi jalan untuk menemukan kejujuran ekspresi dan menembus lapisan sadar-rasional aktor menuju pada spontanitas artistik yang autentik.

Tubuh sebagai Arsip dan Riwayat

Bagi Eko, setiap tubuh aktor menyimpan biografinya sendiri. Tubuh bukanlah sekadar alat ekspresi yang dikendalikan oleh pikiran, tetapi sebuah “ruang arsip” yang merekam perjalanan hidup, trauma, kebiasaan, dan kenangan.

Dalam kerangka ini, latihan teater bukan dimulai dari naskah, melainkan dari tubuh itu sendiri, dari cara tubuh mengingat dan mengulang jejak kehidupannya.

Konsep ini sejalan dengan pemikiran sejumlah praktisi teater modern, seperti Jerzy Grotowski atau Eugenio Barba, yang memandang tubuh aktor sebagai pusat dari penciptaan teater. Namun, bagi Eko, riset tubuh di Teater Lho bukan sekadar adopsi teori Barat.

Ia memadukannya dengan nilai-nilai lokal Nusantara, dengan kesadaran spiritual khas Indonesia yang melihat tubuh sebagai wadah ruh, tempat berkumpulnya energi dan pengalaman hidup.

BACA JUGA:  ILMU DOTI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL

Dalam proses latihan Borka, Eko menekankan kepada para aktor: Bagus Maulana (sebagai Borka), Witari Ardini (sebagai Sirin), Sopiyan Sauri (sebagai Paman), dan Yulianerny (sebagai Nenek), untuk menemukan sumber energi mereka bukan dari hafalan teks, tetapi dari pengalaman tubuh mereka sendiri.