Peluang Indonesia Sebagai Aktor Moral Untuk Mediasi Iran dan Israel

*Modal Diplomatik Indonesia*

Indonesia memiliki rekam jejak diplomatik yang cukup baik dalam upaya perdamaian internasional. Sebagai salah satu negara pendiri Gerakan Non-Blok, Indonesia selalu berupaya menjaga independensi sikap luar negerinya, termasuk dalam konflik Timur Tengah. Sejarah menunjukkan bagaimana Indonesia memainkan peran penting dalam konflik Kamboja, proses perdamaian di Mindanao, serta perannya dalam misi-misi penjaga perdamaian PBB.

Secara formal, Indonesia juga memiliki hubungan yang baik dengan Iran. Kedua negara tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Non-Aligned Movement. Hubungan ekonomi, politik, dan budaya antara Jakarta dan Teheran cukup stabil, meskipun terkadang diwarnai dinamika karena perbedaan pendekatan terhadap beberapa isu global.

Di sisi lain, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, itu bukan berarti tidak memiliki pengaruh. Sejumlah sinyal informal, pertemuan bilateral di forum internasional, Hubungan baik dengan Amerika Serikat sebagai sekutu Israel dan Rusia sebagai sekutu Iran, serta hubungan melalui jalur bisnis atau intelektual menunjukkan bahwa komunikasi tidak sepenuhnya tertutup. Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia juga telah menegaskan sikapnya mendukung solusi dua negara dan menolak penjajahan atas Palestina, suatu posisi yang dapat memperkuat posisi moral Indonesia sebagai penengah yang adil.

BACA JUGA:  JASA KEUANGAN DI TENGAH RISIKO KETIDAKPASTIAN

*Tantangan Besar*

Meski memiliki modal kuat, tantangan Indonesia dalam upaya mendamaikan Israel dan Iran bukanlah perkara ringan. Pertama, permusuhan antara Israel dan Iran bukan hanya bersifat politik, tetapi juga ideologis dan strategis. Iran melihat Israel sebagai musuh regional utama, dan Israel menuduh Iran sebagai pendukung utama kelompok-kelompok militan yang mengancam keamanannya.

Kedua, Indonesia harus menghadapi resistensi dari kedua belah pihak. Iran bisa jadi memandang Indonesia terlalu dekat dengan negara-negara Arab konservatif atau terlalu moderat dalam pendekatan keislaman. Israel mungkin mencurigai niat Indonesia yang tidak memiliki hubungan diplomatik resmi, dan bisa saja mempertanyakan netralitas Indonesia dalam konflik yang menyangkut eksistensinya.

Ketiga, kekuatan-kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Cina memainkan peran besar dalam konflik ini. Upaya damai apa pun tidak akan efektif tanpa mempertimbangkan kepentingan geopolitik negara-negara tersebut. Indonesia harus cermat dalam menavigasi hubungan diplomatiknya dengan kekuatan besar agar tidak dianggap sebagai pion dari blok tertentu.