Di luar panggung, Eko menulis:
“Saya merasa benar-benar dikerdilkan dalam situasi yang tidak jelas. Dan pada lakon Catastrophe saya menangkap semua sinyal itu.”
Pernyataan itu adalah pengakuan seorang seniman yang telah berdamai dengan absurditas. Ia tidak mencari makna yang pasti, tetapi menikmati ketidakpastian itu sebagai bagian dari kehidupan teater. Dalam dunia yang penuh aturan dan protokol, ia memilih tetap menjadi penggugat.
Ketika panggung Catastrophe berakhir, lampu mati, dan tubuh Protagonis membeku dalam putih, keheningan menggema panjang. Tapi di keheningan itu, penonton merasakan sesuatu yang aneh: semacam keberanian untuk menatap. Untuk mengangkat kepala.
Itulah esensi dari Catastrophe versi Eko: sebuah ajakan untuk tidak menyerah pada ketakutan. Ia menunjukkan bahwa bahkan di tengah bencana global, manusia masih punya ruang kecil untuk berpikir, berefleksi, dan melawan—meski hanya dengan gerak kecil di lehernya.
Bagi Teater Lho Indonesia, pementasan ini bukan sekadar karya, tetapi pernyataan sikap. Bahwa teater tidak mati, bahkan ketika dunia ditutup. Bahwa seni adalah cara manusia menolak dilenyapkan. Dan bahwa setiap bahle adalah peluang untuk mengenali ulang kemanusiaan.
Beckett mungkin tak pernah membayangkan naskahnya akan lahir kembali di Lombok, di tengah pandemi, di tangan seorang sutradara yang membaca absurditas dengan bahasa bahle. Tapi begitulah teater bekerja: ia hidup di mana pun manusia masih berani mengangkat kepala.
Memandang R. Eko Wahono dari Catastrophe adalah memandang bagaimana teater bertahan di antara reruntuhan dunia. Ia bukan sekadar cerita tentang pementasan, tetapi tentang sikap hidup: kesetiaan pada teater sebagai ruang kesadaran.
Di tangan Eko, Catastrophe menjadi cermin yang menyingkap wajah zaman. Dan di cermin itu, kita semua, penonton dan pemain, melihat diri sendiri—tak berdaya, tapi masih ingin mengangkat kepala.
#Akuair-Ampenan, 22-10-2025


br






br






