Memandang R. Eko Wahono dari Catastrophe

Catasthope
Proses eksplorasi yang dilakukan sutradara, aktor, dan instrumen pendukung, merupakan bagian terpenting dalam proses teater.(foto: aks)

Dalam konteks pandemi, kalimat itu menjadi sangat aktual. Dunia sedang menjadi Patagonia: dingin, jauh, menunduk pada kekuasaan yang tak terlihat. Maka perlawanan sekecil apa pun, seperti “mengangkat kepala”, adalah tindakan revolusioner.

Bagi Eko, Catastrophe bukan hanya tentang penderitaan, tapi juga tentang keberanian kecil untuk tidak tunduk sepenuhnya. Dalam pementasannya, adegan terakhir—ketika Protagonis perlahan mengangkat kepala di bawah cahaya lampu—menjadi momen paling sakral. Tidak ada teriakan, tidak ada musik heroik, hanya gerak kecil yang memecah kesunyian. Tapi dari sanalah teater menemukan daya ledaknya: kesadaran.

Perlawanan Beckett tidak berupa teriakan politik, melainkan diam yang menyala. Dan dalam versi Eko, diam itu adalah napas terakhir kemanusiaan di tengah bahle.

Pandemi telah menutup rumah ibadah di seluruh dunia. Masjid, gereja, pura, vihara, semua senyap. Dalam kesenyapan itu, teater menjadi satu-satunya tempat di mana manusia bisa berdoa tanpa harus beragama. Catastrophe menjadi semacam ritual eksistensial, di mana manusia dihadapkan pada kerapuhannya sendiri.

Eko menyadari betul hal ini. Pementasan pagi hari pukul 10.00 bukan tanpa makna. Ia seperti menghindari romantisme malam; memilih cahaya terang agar absurditas Beckett tak bersembunyi di balik gelap. Ia ingin menyingkap—bukan menyembunyikan—keterpurukan manusia.

BACA JUGA:  Ziarah Kubur ke Makam Chairil Anwar akan Diisi dengan Diskusi dan Baca Puisi

Penonton yang hadir dengan masker dan jarak sosial bukan hanya saksi, tapi juga partisipan. Mereka adalah bagian dari lakon: tubuh-tubuh yang tunduk pada aturan, mata-mata yang terbelenggu. Dalam diam, mereka menyaksikan dirinya sendiri dipentaskan.

Teater Lho Indonesia menjadikan Catastrophe bukan sebagai hiburan, melainkan ibadah sunyi. Di tengah dunia yang disterilkan, Eko menciptakan ruang untuk merasakan kembali apa itu “hidup”. Ia membuktikan bahwa teater bukan sekadar seni, melainkan cara untuk tetap manusiawi.

Eko dan Jalan Sunyi Teater Lho

Sejak 1990-an, Eko dikenal sebagai pengembara teater yang setia pada jalan sunyi. Ia tidak mengejar popularitas, melainkan kedalaman. Dalam setiap lakon yang digarapnya—Tuan Kondektur, Orang Asing, Darah Daging, hingga Catastrophe—terdapat benang merah yang sama: kegelisahan terhadap manusia yang kehilangan dirinya sendiri.

Di masa pandemi, kegelisahan itu mencapai puncaknya. Dunia kehilangan arah, dan teater menjadi cermin yang paling jujur. Dalam Catastrophe, Eko seolah memproyeksikan seluruh perjalanan spiritual dan sosialnya selama puluhan tahun. Ia tidak hanya membaca Beckett, tetapi membiarkan Beckett membaca dirinya.

br
br