Memandang R. Eko Wahono dari Catastrophe

Catasthope
Proses eksplorasi yang dilakukan sutradara, aktor, dan instrumen pendukung, merupakan bagian terpenting dalam proses teater.(foto: aks)

Bahasa Tubuh dan Tubuh Bahasa

Eko dikenal sebagai sutradara yang mengutamakan tubuh aktor sebagai teks utama. Dalam Catastrophe, pilihan itu menjadi mutlak. Di tengah keterbatasan pandemi, tubuh menjadi pusat komunikasi yang tersisa. Ia tak lagi hanya medium ekspresi, tapi juga medan pertarungan antara tunduk dan merdeka.

Ketika Beckett menulis, “Tangannya. Kepalan. Terus. Dan diputihkan,” ia seakan sedang menggambarkan bagaimana tubuh manusia dilucuti menjadi objek. Dalam versi Eko, tubuh itu tidak sekadar ditundukkan, tetapi juga dipertanyakan: sampai di mana manusia boleh tunduk? Di mana batas kepatuhan berhenti dan kesadaran mulai?

Tubuh-tubuh aktor Teater Lho Indonesia menjelma seperti patung hidup: dingin, kaku, tapi menyimpan gejolak di dalamnya. Gerak yang minim justru menegaskan tekanan psikologis. Warna putih bukan sekadar estetika, melainkan metafora tentang kematian sosial—steril, bersih, tapi tanpa jiwa.

Eko menjadikan panggung sebagai ruang anatomi batin: setiap gerak kecil menjadi denyut refleksi. Di sinilah ia membangun dialog dengan Beckett yang tak lagi bersifat literer, melainkan eksistensial.

BACA JUGA:  Panggung Perjuangan Pahlawan Sastra, Tampilkan Deklamator Nasional

Dalam dua catatan arsip yang dibuatnya (Arsip Catastrophe I dan II), Eko menulis refleksi yang jujur tentang alasannya memilih lakon ini. Ia mengaku tidak mencari lakon yang “seksi” atau populer seperti Endgame, melainkan mengikuti intuisi terhadap zaman yang sedang hancur.

“Saya merasa dipaksa menjadi orang lain di luar kehendak saya,” tulisnya. Pernyataan ini menjadi kunci memahami Catastrophe versinya: teater sebagai cara menghadapi keterpaksaan hidup.

Dalam Arsip II, ia bahkan berseloroh, “Saya curiga Beckett ini orang Lombok asli.” Sebuah kalimat yang jenaka, tapi menyiratkan keintiman antara pengalaman Beckett dan pengalaman masyarakat lokal.

Di tangan Eko, absurditas Beckett tidak terasa asing—ia menjadi bagian dari realitas keseharian. Bahle adalah catastrophe, hanya beda bahasa.

Pandemi mengajarkan manusia untuk tunduk, dan teater menjadi satu-satunya ruang untuk mempertanyakan ketundukan itu. Ketika penonton menatap tubuh aktor yang tak bergerak di atas panggung, mereka sesungguhnya sedang menatap diri mereka sendiri: dibungkam oleh kebijakan, dibatasi oleh ketakutan, dan hanya bisa “mengangkat kepala” dalam hati.

BACA JUGA:  Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025

Eko menjadikan arsip bukan sekadar dokumentasi, tetapi bagian dari dramaturgi. Catatan tentang proses, diskusi, bahkan rasa takut, semuanya adalah bagian dari pementasan yang lebih luas: pementasan kehidupan itu sendiri.

Dialog Beckett yang terkenal—“Mengangkat kepala? Kau pikir di mana kita? Di Patagonia?”—menjadi pusat tafsir bagi Eko. Ia menelusuri arti Patagonia, wilayah di ujung selatan Amerika, yang bagi penjelajah Magellan dihuni suku Tehuelche bertubuh besar. Di sana, orang harus mendongak untuk melihat wajah mereka. Maka “mengangkat kepala” adalah tindakan melihat kembali martabat.

br
br