Teater menjadi ruang satu-satunya di mana manusia masih boleh menafsirkan kepatuhan itu. Maka Catastrophe bukan hanya pementasan, melainkan refleksi atas hidup yang dibungkam.
Teater Lho Indonesia, di bawah tangan Eko, tak pernah sekadar menafsir teks Barat. Ia selalu menanamkannya di tanah lokal, menumbuhkannya dengan konteks sosial-budaya Lombok. Dalam Catastrophe, Eko tak berusaha “menjadi Beckett”, melainkan berdialog dengannya. Ia menempatkan lakon itu dalam lanskap bahle—bencana batin masyarakat Sasak.
Di sinilah terlihat kekhasan pendekatan Eko: ia tidak memoles panggung dengan kerumitan modern, melainkan dengan kesunyian lokal. Lampu yang remang, ruang yang kosong, dan tubuh aktor yang menjadi pusat kesadaran. Putih yang diperintahkan oleh Tokoh Sutradara—“Putihkan!”—menjadi simbol kematian batin, simbol sterilitas yang dipaksakan oleh protokol kesehatan.
Beckett menulis Catastrophe pada 1982 sebagai solidaritas terhadap Václav Havel, dramawan Ceko yang dipenjara rezim komunis. Tapi di tangan Eko, lakon itu menemukan tafsir baru: perlawanan manusia di bawah tekanan pandemi dan sistem kapitalisme global yang memperjualbelikan rasa takut.
Di Lombok, Catastrophe bukan lagi alegori tentang totalitarianisme politik, melainkan totalitarianisme medis, ekonomi, dan ketidakpastian.
“Bahle,” kata orang Sasak. Dan Beckett pun seakan mengangguk.
Dalam Catastrophe, tokoh Sutradara adalah pusat kekuasaan. Ia memberi perintah kepada Asisten Sutradara untuk mengatur tubuh Protagonis: “Kepalanya! Putihkan!” Ia ingin kesempurnaan, kejernihan, ketundukan total. Tapi di balik itu, ada paradoks: bahkan Sutradara sendiri berada di bawah tekanan penonton. Ia diperintah oleh mata yang tak terlihat—seperti masyarakat diperintah oleh kekuatan tak bernama selama pandemi.
Eko membaca struktur tekanan berlapis ini dengan jernih. Dalam catatannya, ia menulis:
“Tokoh-tokoh dalam lakon Catastrophe bukan hanya Protagonis yang dalam tekanan. Semua yang bermain juga masuk perangkap yang sama.”
Inilah struktur sosial yang juga terjadi di dunia nyata. Pemerintah menekan rakyat, tapi mereka sendiri ditekan oleh sistem global. Masyarakat menekan satu sama lain, hingga tak ada lagi ruang bernapas. Pementasan Eko memperlihatkan rantai tekanan itu dengan gamblang—dan secara ironis, penonton pun menjadi bagian dari lingkaran itu.
Maka Catastrophe di bawah penyutradaraan Eko Wahono bukan sekadar representasi naskah, melainkan eksperimen kesadaran. Setiap elemen panggung menjadi simbol keterperangkapannya sendiri: lampu sebagai alat kontrol, kostum putih sebagai tanda sterilitas, jarak antaraktor sebagai visualisasi protokol sosial.


br






br






