Memandang R. Eko Wahono dari Catastrophe

Catasthope
Proses eksplorasi yang dilakukan sutradara, aktor, dan instrumen pendukung, merupakan bagian terpenting dalam proses teater.(foto: aks)

Catatan Agus K Saputra

NusantaraInsight, Ampenan — Pandemi tahun 2020 adalah ruang yang menyingkap wajah manusia dalam kebisuannya. Di masa itu, di tengah ketakutan global, di antara sirine ambulans dan bau cairan disinfektan yang tak pernah habis, panggung teater di Taman Budaya NTB tiba-tiba kembali bernyawa.

Jumat, 24 Juli 2020, pukul 10.00 Wita, R. Eko Wahono memanggungkan Catastrophe karya Samuel Beckett bersama Teater Lho Indonesia. Ia memanggungkan malapetaka di tengah malapetaka—sebuah keberanian yang hampir absurd, namun justru di sanalah letak makna terdalamnya.

Pertunjukan itu berlangsung dengan segala pembatasan: masker, jarak, ketakutan, dan kamera yang menyiarkan ke layar digital. Dunia panggung dan dunia daring menyatu tanpa pernah berjanji akan akrab. Namun Eko tampak tenang.

Ia seperti sudah lama menunggu momen di mana absurditas Beckett menemukan konteks paling nyata: dunia yang sedang membeku di bawah bayang-bayang virus.

Bagi masyarakat Lombok, pandemi disebut bahle—sebuah kata yang lebih dari sekadar bencana. Ia menunjuk pada gangguan dalam keseimbangan hidup, kekosongan makna, kekacauan batin.

BACA JUGA:  PUISI RAMADHAN

Catastrophe bukan sekadar lakon yang dipilih, melainkan semacam mantra yang menghidupkan kembali refleksi atas kemanusiaan yang terkikis oleh ketakutan. Di tangan Eko, bahle itu menjadi teater; menjadi ruang tafsir dan perlawanan.

Pandemi sebagai Panggung Beckettian

Sejak awal pandemi, kebijakan pemerintah menciptakan dunia yang penuh jarak: sekolah ditutup, toko dibatasi, hotel sepi, manusia kehilangan pekerjaan. Masyarakat hidup di antara rasa takut dan lapar, di antara keinginan bertahan dan kehilangan arah.

Dalam situasi ini, Catastrophe menjadi sangat relevan—ia bukan sekadar naskah absurd, tetapi alegori tentang manusia yang direduksi menjadi objek oleh kekuasaan.

Beckett, dalam Catastrophe, menempatkan tubuh manusia—disebutnya Protagonis—di bawah kendali total seorang Sutradara dan Asisten Sutradara. Di hadapan mereka, sang aktor kehilangan kemerdekaannya. Ia diatur: kepala, tangan, kaki, bahkan cara berdirinya.

Di akhir lakon, hanya ada satu tindakan kecil yang menjadi simbol perlawanan: sang Protagonis mengangkat kepala. Sebuah gerak kecil yang mengguncang makna besar.

Eko menangkap simbol itu dengan sangat peka. Di tengah pandemi, manusia seolah tak punya ruang untuk mengangkat kepala. Semua tunduk pada protokol, pada kebijakan, pada angka statistik kematian.

BACA JUGA:  Rahayu Saraswati D.Djojohadikusumo, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI : Saya Sebenarnya Penyair Dadakan, Tulis Puisi Dalam Satu.Jam

Maka ketika Beckett menulis “Mengangkat kepala? Kau pikir di mana kita? Di Patagonia?”, Eko menemukan gema yang nyata: dunia ini sudah menjadi Patagonia—tanah dingin, keras, dan penuh kepatuhan.

br
br