*Benturan dengan Realitas Kemanusiaan*
Namun, keyakinan religius tidak bisa dilepaskan dari kenyataan politik dan hak asasi manusia. Ketika klaim atas tanah berbasis pada teks kuno dijadikan landasan tindakan modern, muncul pertanyaan besar: apakah sebuah janji yang diyakini diberikan ribuan tahun lalu bisa menjadi legitimasi atas penjajahan dan penderitaan orang lain hari ini?
Rakyat Palestina yang terusir dari rumah mereka, yang hidup di bawah pendudukan militer, dan yang setiap hari menghadapi diskriminasi, tidak melihat janji itu sebagai sesuatu yang sakral. Bagi mereka, itu hanyalah dalih untuk mencaplok tanah dan menindas eksistensi mereka. Mereka pun punya sejarah, tanah air, dan hak yang tidak kalah sah.
Di sinilah keyakinan yang tidak dibingkai dengan keadilan bisa berubah menjadi ideologi penindasan. Ketika sebuah bangsa merasa memiliki hak ilahi yang lebih tinggi dari bangsa lain, lahirlah ketimpangan, kekerasan, dan siklus konflik yang tiada habisnya.
*Apakah Tuhan Berpihak pada Penjajahan?*
Pertanyaan besar lainnya yang patut direnungkan adalah: benarkah Tuhan merestui ketidakadilan? Jika Tuhan menjanjikan tanah kepada satu bangsa, apakah itu berarti Tuhan juga mengizinkan mereka mengusir, membunuh, dan meminggirkan bangsa lain? Apakah Tuhan, yang dikenal sebagai sumber kasih dan keadilan, mengajarkan superioritas rasial dan etnis?
Dalam banyak tradisi keagamaan, termasuk Islam dan Kristen, Tuhan dikenal sebagai Maha Pengasih dan Maha Adil. Tuhan tidak memihak pada penindasan. Bahkan dalam ajaran Yahudi sendiri, nilai-nilai keadilan, kasih terhadap sesama, dan perlindungan terhadap kaum lemah sangat ditekankan. Maka dari itu, ketika klaim atas janji Tuhan digunakan untuk melegitimasi penjajahan, ada yang keliru dalam cara memahami teks suci itu.
Dunia yang Lebih Adil Membutuhkan Tafsir yang Baru
Tidak salah jika sebuah bangsa memiliki keyakinan atas warisan spiritual mereka. Namun keyakinan itu harus diimbangi dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Tidak ada satupun bangsa yang berhak menjadikan teks kuno sebagai dasar untuk menindas bangsa lain di masa kini.
Yang dibutuhkan adalah tafsir baru atas sejarah. Tafsir yang menekankan bahwa jika Tuhan menjanjikan tanah, maka itu berarti tanah itu harus menjadi sumber kedamaian, bukan konflik. Bahwa hidup berdampingan jauh lebih luhur daripada mengusir. Bahwa semua anak manusia, Yahudi maupun Palestina, memiliki hak yang sama untuk hidup merdeka, aman, dan bermartabat.
Israel mungkin percaya bahwa mereka menerima janji Tuhan 3500 tahun lalu. Namun dunia hari ini menuntut keadilan yang lebih nyata daripada sekadar klaim warisan. Tuhan tidak akan merestui kekerasan yang dibungkus dengan nama-Nya. Dan sejarah akan menilai, apakah bangsa Israel benar-benar mewarisi janji Tuhan, atau justru mengkhianatinya dengan menindas sesama manusia.