Ketegangan AS–Israel dan Prospek Diplomasi

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, Makassar — Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Israel telah lama terjalin erat, dibingkai oleh kepentingan strategis, komitmen ideologis, dan dukungan militer serta ekonomi.

Namun, belakangan ini, ketegangan antara kedua sekutu tersebut mencuat ke permukaan. Di tengah konflik yang berkecamuk antara Israel dan Iran, serta krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Gaza, suara-suara kritis dari Washington mulai terdengar lebih keras.

Ketegangan ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah aliansi AS–Israel yang selama ini kokoh sedang mengalami erosi? Dan jika ya, adakah ruang untuk diplomasi yang bisa menyelamatkan atau setidaknya merestrukturisasi hubungan ini menuju masa depan yang lebih berimbang?

Akar Ketegangan: Strategi Militer dan Agenda Politik

Ketegangan terbaru memuncak pasca-serangan besar-besaran Iran ke Israel pada Juni 2025. Israel merespons dengan operasi militer masif bernama “Rising Lion,” yang menyasar berbagai fasilitas strategis di Iran, termasuk pangkalan militer, peluncur rudal, hingga jaringan komunikasi.

Operasi ini berhasil secara militer, namun menimbulkan kecemasan di Gedung Putih. Pemerintahan Amerika Serikat, yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden dari Partai Demokrat, mulai menyuarakan keprihatinan atas potensi eskalasi regional yang bisa menyeret AS ke dalam konflik terbuka di Timur Tengah.

BACA JUGA:  Bedah Buku: Heterarki Masyarakat Muslim Indonesia

Namun ketegangan tidak hanya bersumber dari perbedaan pandangan militer. AS mulai kehilangan kesabaran atas sikap keras Israel terhadap Gaza dan pengungsi Palestina.

Meningkatnya jumlah korban sipil, kehancuran infrastruktur dasar, serta pembatasan akses bagi lembaga-lembaga kemanusiaan internasional telah menempatkan Washington dalam dilema moral dan diplomatik.

Masyarakat sipil dan kelompok HAM di AS menekan pemerintah untuk mengambil sikap lebih tegas terhadap Israel, yang dianggap melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.

Sementara itu, Israel—di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengubah pendekatan militernya.

Netanyahu tetap bergeming, dan bahkan dalam beberapa pernyataan publik menegaskan bahwa Israel “tidak akan tunduk pada tekanan internasional, termasuk dari sekutu sendiri.”

Friksi dalam Retorika dan Kebijakan

Pernyataan keras dari pejabat Gedung Putih mulai bermunculan. Menteri Luar Negeri AS memperingatkan Israel untuk menahan diri dari tindakan-tindakan yang bisa memicu konflik regional lebih luas.

Dalam sidang kongres, sejumlah senator dari kedua partai mempertanyakan keberlanjutan bantuan militer AS ke Israel jika tidak ada perubahan kebijakan.