Bukan berarti mereka tidak peduli. Tapi realitas memaksa mereka untuk memilih: antara memikirkan anak yang belum makan atau warga Gaza yang dibom. Di titik ini, rasa kemanusiaan berbenturan dengan insting bertahan hidup.
Gerakan Solidaritas yang Kurang Berdampak Nyata
Sebagian orang mulai merasa skeptis terhadap efektivitas aksi-aksi solidaritas. Mereka melihat ribuan aksi long march, jutaan donasi, dan puluhan tahun doa tak mampu menghentikan bom Israel.
Mereka mulai bertanya: “Apa yang benar-benar bisa kita lakukan? Bukankah semua ini hanya simbolik?”
Kekecewaan itu sering kali juga dipicu oleh ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga penyalur donasi yang tak transparan, atau tokoh-tokoh yang menjadikan isu Palestina sebagai panggung pencitraan politik.
Media Sosial: Antara Solidaritas dan Sensasi
Era digital membuat berita Gaza mudah diakses, tetapi juga cepat terkubur. Linimasa hari ini menampilkan video rumah hancur, besok langsung berganti konten challenge TikTok atau drama selebriti. Inilah dunia kita hari ini: penuh informasi, minim perhatian.
Kebiasaan scroll cepat dan konsumsi konten pendek membuat isu berat seperti Palestina kalah pamor dengan isu-isu ringan dan menghibur. Lama-lama, Gaza tidak lagi “viral”—dan itulah titik kematian narasi kemanusiaan kita.
Sikap Sinis dan Polarisasi Isu
Dalam beberapa kasus, solidaritas terhadap Palestina juga menjadi korban dari polarisasi politik dan agama. Ada kelompok yang memandang isu Palestina hanya milik kelompok Islam tertentu. Akibatnya, orang-orang yang tidak merasa terlibat dalam identitas itu menjadi pasif, atau bahkan bersikap sinis.
Padahal, penderitaan di Gaza adalah soal kemanusiaan, bukan hanya soal keyakinan. Namun ketika empati dikotak-kotakkan berdasarkan ideologi, maka kekuatan solidaritas akan lumpuh.
Kurangnya Narasi Personal
Data dan statistik korban memang penting. Tapi manusia tersentuh bukan karena angka, melainkan karena cerita. Sayangnya, banyak media hanya menyampaikan jumlah korban, bukan wajah mereka, bukan kisah mereka. Ini membuat penderitaan Gaza terasa jauh dan abstrak.
Padahal, jika kisah itu dihidupkan—tentang anak kecil yang tak lagi bisa ke sekolah, tentang ibu yang kehilangan lima anak sekaligus, tentang pemuda yang menanam zaitun di bawah ancaman peluru—maka empati bisa kembali tumbuh. Cerita manusia, bukan sekadar angka, yang menyentuh hati.
Haruskah Kita Menyerah?
Tentu tidak. Kelelahan peduli bukan alasan untuk berhenti. Justru di saat dunia lelah, suara yang tersisa menjadi sangat berarti. Mungkin kita tak bisa menghentikan perang, tapi kita bisa menjaga agar luka Gaza tidak dilupakan. Kita bisa terus menyuarakan, mendidik generasi muda, dan tetap mengulurkan tangan melalui donasi atau dukungan lainnya.