Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Dalam perbincangan global soal senjata nuklir, nama Israel selalu muncul dalam posisi yang ganjil—sebagai negara yang diduga kuat memiliki senjata nuklir, namun tak pernah mengakuinya secara resmi. Dunia menyebutnya sebagai “kebijakan ambiguitas” atau nuclear opacity. Tapi di balik terminologi diplomatik itu, tersembunyi sebuah kemunafikan besar yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Israel adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki program nuklir yang maju dan diyakini menyimpan persenjataan nuklir dalam jumlah signifikan. Namun hingga kini, Israel tidak menandatangani Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), perjanjian global yang menjadi pilar utama pencegahan penyebaran senjata nuklir di dunia. Sementara itu, negara-negara seperti Iran, Irak, dan Suriah—yang pernah atau dituduh mengembangkan program nuklir—ditekan secara terbuka dan disanksi habis-habisan.
Inilah wajah kemunafikan yang mencolok: ketika negara lain diawasi ketat oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan ditekan melalui diplomasi maupun kekuatan militer, Israel melenggang bebas tanpa pengawasan, tanpa audit, dan tanpa pengakuan.
Senjata yang “Tidak Ada Tapi Ada”
Fasilitas nuklir Dimona, yang terletak di gurun Negev, sudah lama menjadi simbol misteri kekuatan nuklir Israel. Dibangun pada akhir 1950-an dengan bantuan rahasia dari Perancis, fasilitas ini disamarkan sebagai pusat penelitian. Namun pada tahun 1986, seorang mantan teknisi bernama Mordechai Vanunu membocorkan informasi kepada media Inggris, mengungkapkan bahwa Israel memiliki program senjata nuklir rahasia dan telah memproduksi hingga ratusan hulu ledak nuklir.
Alih-alih diselidiki secara internasional, reaksi Israel justru memperkuat sikap tertutupnya. Vanunu diculik oleh agen Mossad dari Italia, diadili secara tertutup, dan dipenjara selama 18 tahun. Dunia bungkam. Barat tidak mengutuk, apalagi mengecam. Amerika Serikat, sekutu dekat Israel, bahkan seolah-olah “tidak tahu-menahu”.
Inilah bentuk kemunafikan sistemik yang telah mengakar dalam hubungan geopolitik dunia. Negara-negara besar menerapkan standar ganda, seolah-olah senjata nuklir aman jika dimiliki oleh negara yang mereka anggap “sekutu”, tetapi menjadi ancaman jika dimiliki oleh pihak yang dianggap “musuh”.
Menghakimi Iran, Membela Israel
Contoh paling gamblang dari standar ganda ini adalah perlakuan terhadap Iran. Republik Islam itu berada di bawah pengawasan internasional selama bertahun-tahun karena program nuklirnya, meski Teheran secara konsisten menyatakan bahwa programnya bersifat damai dan untuk kebutuhan energi. Iran adalah penandatangan NPT dan membuka diri terhadap inspeksi IAEA, namun tetap menjadi sasaran sanksi, tekanan, dan bahkan ancaman perang.