Namun, realitas di lapangan berkata lain: mereka yang hendak menolong justru harus menyaksikan anak-anak mati di pelukan ibu mereka karena sebotol air bersih atau sepiring makanan tak pernah sampai.
Perundingan yang Mandek dan Diplomasi yang Didinginkan
Perundingan damai yang sempat difasilitasi di Doha, Qatar, kembali menemui jalan buntu. Amerika Serikat, yang sebelumnya aktif dalam upaya gencatan senjata, justru menarik timnya dari meja perundingan karena menilai Hamas tidak menunjukkan itikad baik.
Pernyataan itu mengundang pro dan kontra, terlebih karena dilontarkan di saat yang sangat sensitif, ketika Gaza justru membutuhkan dukungan penuh dari kekuatan dunia.
Sementara itu, kelompok-kelompok pejuang di Gaza, dalam posisi terjepit dan dikepung, tidak mudah menanggapi tekanan internasional. Tidak hanya karena posisi politik, tetapi juga karena kondisi di lapangan yang sudah terlalu rusak untuk diatur dengan kalkulasi diplomatik. Perang di Gaza bukan sekadar pertarungan militer, melainkan perang mempertahankan martabat manusia.
Tekanan Internasional Meningkat, Tapi Belum Cukup
Dari Eropa mulai terdengar suara keras. Inggris, Prancis, Jerman, dan beberapa negara lain mengutuk situasi kemanusiaan di Gaza dan mendesak Israel untuk membuka jalur bantuan dan menghentikan serangan militer. Presiden Prancis bahkan menyatakan rencana pengakuan resmi atas Negara Palestina sebagai langkah diplomatik yang akan diumumkan pada bulan September mendatang.
Namun, sejauh ini, langkah-langkah tersebut belum menghasilkan perubahan signifikan di lapangan. Israel tetap bersikukuh bahwa operasi militer mereka adalah respons terhadap ancaman keamanan, sementara Amerika Serikat—meski mulai terbelah di internal pemerintahannya—masih mempertahankan aliansi strategis dengan Tel Aviv.
Di sisi lain, negara-negara Global South seperti Afrika Selatan, Indonesia, Brasil, dan Turki berupaya membentuk poros moral yang mendesak pembentukan misi PBB untuk perlindungan warga sipil Palestina.
Bahkan, Bogotá Summit yang melibatkan 12 negara pada pertengahan Juli menghasilkan kesepakatan konkret tentang penghentian ekspor senjata ke Israel dan tuntutan tanggung jawab hukum atas kejahatan kemanusiaan.
Gaza: Cermin Retak Dunia
Apa yang terjadi di Gaza adalah cermin dari dunia yang kehilangan prioritasnya. Di satu sisi, ada teknologi tinggi, negara-negara adidaya, dan kemajuan ekonomi.
Di sisi lain, ada anak-anak yang mati karena air bersih tak tersedia. Ada bayi yang lahir lalu dikuburkan tanpa sempat merasakan pelukan dunia. Ada ibu yang kehilangan anaknya bukan karena wabah atau bencana alam, melainkan karena dunia membiarkan kejahatan terus berulang.