Keberagaman Sebagai Hikmah: Menemukan Peradaban dalam Ekspresi yang Beragam

Keberagaman adalah hikmah karena ia memaksa kita untuk berpikir lebih dalam, berempati lebih luas, dan bertindak lebih bijak. Ia menantang manusia untuk melihat dunia bukan dari satu warna, tetapi dari spektrum kehidupan yang kaya dan indah.

Tantangan Keberagaman di Era Kontemporer

Namun, menghayati keberagaman bukanlah perkara mudah. Dunia modern justru sering kali menjerumuskan manusia ke dalam keseragaman yang halus: seragam dalam cara berpikir, berpakaian, beragama, bahkan dalam menilai orang lain. Di satu sisi, manusia modern mengaku menghargai keberagaman; di sisi lain, mereka cepat merasa terganggu oleh yang berbeda.

Fenomena “cancel culture”, ujaran kebencian di media sosial, hingga fanatisme politik yang membelah masyarakat adalah contoh nyata bagaimana keberagaman bisa berubah menjadi sumber konflik bila tidak disertai kesadaran beradab.

Dalam konteks ini, pendidikan dan kebudayaan memegang peranan penting. Sekolah, keluarga, dan komunitas perlu menanamkan nilai bahwa perbedaan bukan sesuatu yang harus dihapuskan, melainkan dijaga dan dihormati. Literasi budaya, empati sosial, dan dialog antaragama menjadi kunci untuk menjaga harmoni di tengah keberagaman.

BACA JUGA:  Apakah Pacaran Membatalkan Puasa?

Selain itu, peran seni dan kebudayaan menjadi sangat vital. Melalui seni, manusia belajar memahami pengalaman orang lain tanpa perlu merasa terancam. Seni membuka ruang dialog yang lembut, tetapi menyentuh. Ia menembus batas bahasa dan politik.

Keberagaman ekspresi seni — dari tari tradisi hingga instalasi kontemporer, dari musik daerah hingga eksperimen digital — menunjukkan bahwa peradaban hidup karena keberanian manusia untuk terus berekspresi. Dan dari situ pula, kita belajar bahwa menjadi beradab berarti menghargai setiap bentuk ekspresi manusia, sekecil apa pun itu.

Manusia sering kali mencari identitas dengan cara membedakan diri dari yang lain. Namun, dalam keberagaman yang sejati, identitas bukan dibangun dari penolakan terhadap yang lain, melainkan dari perjumpaan.

Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang berbeda keyakinan, bahasa, atau kebiasaan, ia tidak kehilangan dirinya; justru di situlah ia menemukan kedalaman jati dirinya. Proses memahami perbedaan adalah proses mengenali batas dan potensi diri sendiri.

Keberagaman menuntun manusia untuk bersikap reflektif: mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting tentang makna hidup, nilai, dan tujuan bersama. Dari sinilah lahir etika peradaban — bahwa manusia tidak hidup sendirian, dan setiap tindakan memiliki dampak terhadap yang lain.

BACA JUGA:  Strategi “Pasir Hisap” Israel

Hanya dengan cara inilah manusia bisa menjadi “lebih beradab”: ketika ia sanggup menahan diri dari arogansi, menghormati yang lemah, dan melihat kemanusiaan sebagai satu tubuh yang utuh meski terdiri dari banyak bagian.

br
br