Ketika disebut bahwa keberagaman adalah pintu masuk untuk menggedor kemampuan diri yang lebih beradab, maka sesungguhnya ada makna transformasi di sana. Keberagaman bukan sekadar sesuatu yang “ada”, tetapi sesuatu yang “menggerakkan”. Ia menantang manusia untuk beranjak dari egoisme menuju empati, dari klaim kebenaran tunggal menuju keterbukaan pikiran.
Menjadi beradab berarti sanggup mengelola perbedaan tanpa meniadakan keunikan masing-masing. Dalam konteks masyarakat, ini berarti menghindari dominasi satu kelompok atas yang lain. Dalam konteks individu, ini berarti membuka diri terhadap pengalaman dan cara berpikir yang berbeda. Dalam konteks spiritual, ini berarti menyadari bahwa keanekaragaman adalah ciptaan Tuhan yang mengandung hikmah dan rahmat.
Dalam sejarah manusia, setiap peradaban besar lahir dari pertemuan budaya dan percampuran gagasan. Yunani kuno berkembang karena bertemu dengan Mesir dan Timur Tengah. Dunia Islam mencapai puncak kejayaannya saat terbuka terhadap filsafat Yunani dan sains Persia. Indonesia pun tumbuh dari perjumpaan berbagai kebudayaan: Austronesia, India, Arab, Cina, Eropa, dan lokal Nusantara.
Setiap perjumpaan melahirkan dinamika baru, yang jika diolah dengan bijak, akan menghasilkan peradaban yang lebih matang. Maka keberagaman, bila disikapi dengan keterbukaan, bukan ancaman, melainkan sumber daya moral dan intelektual yang luar biasa.
Hikmah bukan sekadar kebijaksanaan intelektual. Dalam tradisi spiritual Timur, hikmah dipahami sebagai kesadaran mendalam tentang makna di balik realitas. Ia adalah pengetahuan yang tidak hanya diketahui, tetapi juga dihayati.
Ketika dikatakan keberagaman adalah senyatanya hikmah, kita diajak untuk memahami bahwa perbedaan adalah guru kehidupan. Dari perbedaan, manusia belajar mengenal dirinya sendiri. Dari orang lain yang tak sama, kita menemukan cermin untuk melihat siapa kita sesungguhnya.
Hikmah keberagaman mengajarkan bahwa kebenaran tidak dapat dimonopoli. Ia menuntun manusia untuk rendah hati — sebuah kualitas yang menjadi dasar dari peradaban. Dalam masyarakat yang beragam, kebijaksanaan tumbuh bukan dari keseragaman pandangan, melainkan dari dialog yang terus-menerus.
Dalam dunia modern, yang ditandai oleh teknologi dan kecepatan informasi, sering kali keberagaman justru menimbulkan polarisasi. Orang-orang dengan cepat menghakimi yang berbeda tanpa memahami konteks. Media sosial memperkuat bias dan mempersempit ruang empati. Padahal, hikmah keberagaman justru mengajarkan bahwa memahami tidak sama dengan menyetujui. Kita bisa berbeda tanpa harus memusuhi.