Keberagaman Sebagai Hikmah: Menemukan Peradaban dalam Ekspresi yang Beragam

Catatan Agus K Saputra

NusantaraInsight, Ampenan — Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, keberagaman telah menjadi realitas yang tak terbantahkan. Ia hadir dalam setiap dimensi kehidupan manusia — mulai dari bahasa, budaya, cara berpikir, hingga cara berekspresi. Ungkapan “ekspresi yang beragam pada sebuah proses bukan lagi sebuah tuntutan” mengisyaratkan bahwa keragaman bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan atau dikejar demi tampilan semu inklusivitas, melainkan sebuah kesadaran alami yang tumbuh dari pengakuan akan martabat manusia yang berbeda-beda.

Dalam ruang ini, keberagaman tidak lagi dilihat sebagai beban, melainkan sebagai pintu masuk menuju kedalaman peradaban: proses “menggedor kemampuan diri yang lebih beradab”. Sebab, hanya manusia yang mampu menghargai perbedaanlah yang dapat mencapai tahap tertinggi dalam berbudaya — yaitu kebijaksanaan. Pada titik inilah keberagaman menjadi “hikmah”, bukan sekadar fakta sosial, tetapi juga nilai moral dan spiritual yang menghidupkan peradaban.

Catatan ini mencoba mengurai bagaimana keberagaman dapat menjadi hikmah, bagaimana ekspresi manusia dalam proses hidupnya mencerminkan kebudayaan yang beradab, dan bagaimana nilai-nilai itu dapat dirawat di tengah dunia yang serba cepat, bising, dan sering kali menolak perbedaan.

BACA JUGA:  “Sentilan” Menteri Dalam Negeri

Setiap manusia memiliki cara sendiri dalam mengekspresikan diri. Ada yang melakukannya melalui kata, ada pula yang memilih diam. Ada yang berbicara lewat lukisan, musik, atau tarian. Ada pula yang menulis, meneliti, atau sekadar mendengarkan dengan penuh makna. Ekspresi adalah jendela batin manusia — tempat nilai, pikiran, dan rasa bertemu dalam harmoni atau kadang pula dalam ketegangan.

Ketika dikatakan bahwa ekspresi yang beragam pada sebuah proses bukan lagi sebuah tuntutan, sesungguhnya kita sedang diajak untuk memahami bahwa keberagaman ekspresi adalah keniscayaan. Ia bukan hasil dari program sosial, bukan pula sesuatu yang harus ditiru demi memenuhi standar “keberagaman” yang sering kali artifisial. Sebaliknya, ekspresi yang beragam tumbuh secara organik dari keunikan manusia.

Setiap proses kehidupan — belajar, berkarya, beragama, berpolitik, atau berkebudayaan — akan selalu melahirkan bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Perbedaan itu tidak seharusnya diadili, tetapi dipahami. Dalam perbedaan ekspresi, manusia belajar untuk menempatkan dirinya bukan sebagai pusat dunia, melainkan sebagai bagian dari semesta yang luas dan kompleks.

BACA JUGA:  Strategi Mengatasi Defisit Anggaran

Dengan demikian, ekspresi yang beragam bukan sekadar simbol kebebasan, melainkan jalan menuju kedewasaan berpikir dan bertindak. Ia mengajarkan kita bahwa kebenaran tidak tunggal, bahwa cara pandang manusia selalu dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan latar budayanya masing-masing. Dari sinilah proses peradaban bermula.

Keberagaman Sebagai Pintu Menuju Keberadaban

Keberagaman sering kali hanya dipahami sebagai sesuatu yang kasat mata — perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, atau agama. Padahal, makna terdalam dari keberagaman adalah kemampuan untuk hidup berdampingan tanpa kehilangan identitas diri. Ia bukan sekadar toleransi yang bersifat pasif, melainkan penerimaan aktif terhadap perbedaan.

br
br