Kalimat “Iran, please stop” bisa menjadi titik awal kesadaran baru—jika disertai dengan kejujuran untuk juga berkata kepada diri sendiri: “Israel, mari kita hentikan kezaliman.” Karena hanya dengan kesadaran itu, luka sejarah bisa mulai disembuhkan, dan perdamaian yang adil bisa benar-benar terwujud.
Akankah keluar dari mulut Netanyahu?
Seandainya “Iran, please stop” keluar dari mulut Benjamin Netanyahu, maka dunia akan melihatnya dengan lensa yang jauh lebih kritis dan penuh ironi.
Pemimpin Israel yang selama ini dikenal keras, tegas, bahkan brutal terhadap Palestina, kini memohon agar Iran menghentikan serangan. Dunia mungkin akan bertanya: apakah ini permohonan tulus atau bentuk kemunafikan politik?
Kenyataannya, sampai detik ini Netanyahu tidak bergelagat sedikit untuk menyampaikan permintaan itu. Dia lebih sibuk dengan arogansinya dan memprovokasi Triump untuk bersama-sama menghadapi Iran.
Seandainya Netanyahu berkata, “Iran, please stop,” dunia akan menyambutnya dengan penuh kecurigaan karena itu bukan sekadar pernyataan seorang kepala negara yang melindungi warganya, namun akan menjadi cerminan bahwa untuk pertama kalinya, Israel merasa gentar.
Bahwa selama ini mereka merasa di atas angin, tak tersentuh, dan seolah kebal dari konsekuensi moral dan militer atas kejahatan yang dilakukan terhadap bangsa lain.
Namun seandainya Netanyahu yang meminta, maka akan membuka ruang refleksi baru. Dunia akan menyadari bahwa seorang pemimpin sekeras dia, ketika ancaman menghampiri, ia pun bisa meminta dihentikan kekerasan. Maka logikanya, mengapa ia tidak berhenti lebih dulu? Mengapa tidak menghentikan agresi terhadap Palestina sejak puluhan tahun lalu?
Maka jika Netanyahu hari ini berkata, “Iran, please stop,” maka dunia, rakyat Palestina, dan sejarah akan menjawab:
“Israel, you should’ve stopped first.”
24Juni2025