Di tengah derasnya suara “Iran, please stop,” ada juga suara-suara lain yang lebih reflektif: “Mungkin inilah saatnya kita katakan juga kepada diri sendiri: Israel, please stop.” Stop menjajah, stop menggusur, stop menodai Masjidil Aqsha, stop membungkam suara kemanusiaan yang meminta keadilan bagi Palestina.
Narasi ini bukan untuk merayakan penderitaan siapa pun. Tidak juga untuk mengecilkan ketakutan warga sipil mana pun. Tapi sejarah tidak bisa dibungkam. Dalam ketakutan warga Israel hari ini, dunia mungkin berharap akan lahir empati baru—bahwa rasa sakit itu tidak mengenal bangsa, dan bahwa perdamaian bukan datang dari rudal, tapi dari kesediaan untuk mengakui kesombongan dan kesalahan untuk membuka lembaran baru yang adil bagi semua.
Maka, jika hari ini mereka berkata, “Iran, please stop,” semoga suatu saat mereka juga mampu berkata dengan tulus, “Israel, we must stop.”
Permintaan status quo ?
Namun, suara “Iran, please stop” yang menggema dari warga Israel tidak dapat berdiri sendiri tanpa menggali lebih dalam akar persoalan yang melatarbelakanginya.
Dunia telah menyaksikan selama lebih dari tujuh dekade bagaimana Israel menduduki tanah Palestina, menggusur penduduk asli, dan membangun permukiman ilegal.
Ribuan anak-anak Palestina menjadi yatim, ribuan ibu kehilangan anaknya, dan ratusan ribu orang hidup dalam pengungsian di tanah kelahirannya sendiri. Dan detik terblokade tidak mendapat bantuan kemanusiaan yang datang dari luar.
Maka, ketika Iran meluncurkan serangan sebagai respons atas agresi sebelumnya dari Israel, dan menyatakan bahwa tindakannya merupakan bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina yang terus dibombardir, pertanyaan pun muncul: apakah permintaan “please stop” itu ditujukan untuk menghentikan kekerasan, atau permintaan untuk mempertahankan status quo yang selama ini menindas pihak lain?
Beberapa suara dari masyarakat sipil internasional mulai menanggapi permintaan itu dengan skeptis. Mereka menuntut kejujuran moral dari warga Israel: apakah mereka benar-benar ingin menghentikan perang, atau hanya ingin perang tidak datang ke halaman rumah mereka? Apakah mereka benar-benar menginginkan perdamaian, atau hanya ingin tetap hidup nyaman sementara bangsa lain menderita?
Beberapa kelompok warga Yahudi progresif di Amerika Serikat dan Eropa bahkan mengeluarkan pernyataan yang berbeda dari pemerintah Israel. Mereka mengatakan bahwa permintaan damai tidak boleh hanya ditujukan kepada Iran, tetapi juga harus diiringi dengan introspeksi nasional: “Tak akan ada perdamaian sejati jika tidak ada keadilan bagi Palestina.”