Dengan kata lain, dua puluh tahun sebelum wacana tersebut diadopsi secara resmi di tanah air, Dr. Mala telah memprediksi arah kebijakan yang seharusnya ditempuh Indonesia. Pemikiran tersebut tidak hanya menunjukkan kecerdasannya dalam membaca realitas sosial-politik, tetapi juga memperlihatkan kecintaannya terhadap tanah kelahiran. Baginya, kemajuan bangsa tidak mungkin dicapai jika daerah-daerah yang memiliki potensi besar terus terkungkung oleh sentralisasi kekuasaan.
Di sisi lain, keterlibatan pemikiran Mala dalam proses perumusan undang-undang desentralisasi di Prancis juga memperlihatkan universalitas gagasannya. Ia tidak hanya relevan bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Maka, tidak berlebihan jika banyak pihak menobatkannya sebagai “Bapak Otonomi Daerah,” baik di tingkat nasional maupun internasional.
Selain prestasi akademiknya, Dr. Mala juga dikenal sebagai sosok ayah, guru, dan panutan yang penuh keteladanan. Bagi keluarga dan murid-muridnya, ia tidak hanya memberikan nasihat dalam kata-kata, tetapi juga lewat sikap hidup. Kesederhanaan, kedisiplinan, kejujuran, kepedulian, dan rasa tanggung jawab adalah nilai-nilai yang tercermin nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Nilai-nilai tersebut menjadi warisan yang tidak kalah penting dibandingkan gagasan akademisnya. Ia membuktikan bahwa menjadi cendekiawan sejati bukan sekadar menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga menghidupi prinsip-prinsip moral yang luhur. Dalam konteks kepemimpinan bangsa, sosok seperti Mala merupakan figur ideal yang mampu menjembatani antara kecerdasan intelektual dan kebijaksanaan moral.
Di balik prestasi internasional yang diraihnya, Dr. Mala tidak pernah melupakan akar identitasnya sebagai putra Indonesia. Kecintaan dan keberpihakannya pada tanah air tercermin jelas dalam setiap karya dan tindakannya. Disertasinya, misalnya, tidak hanya membahas teori pemerintahan secara abstrak, melainkan menyoroti langsung produk hukum Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Dari sini terlihat betapa kuatnya rasa nasionalisme Mala. Ia menggunakan kesempatan belajar di luar negeri bukan untuk melupakan tanah air, tetapi justru untuk mengangkat dan memperkenalkan Indonesia ke kancah dunia. Di dalam dirinya mengalir darah merah putih, sebuah patriotisme yang tulus dan tidak tergantikan oleh kemewahan atau fasilitas di negeri orang.
Buku Dari Sumbawa Menggapai Puncak Eiffel karya Nurdin Ranggabarani, yang mendokumentasikan perjalanan hidup Dr. Mala, bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga sumber inspirasi bagi generasi sekarang. Di tengah arus globalisasi yang kerap mengikis nilai-nilai kebangsaan, kisah hidup Mala mengingatkan kita bahwa kejayaan bangsa tidak bisa diraih tanpa kecintaan pada tanah air.