PERLUNYA MENATA KEMBALI LORONG WISATA

Di Jalan Nuri Lorong 302, RT 05/RW 01 Kelurahan Mariso, Kecamatan Mariso, misalnya, masyarakat memanfaatkan lahan tidur seluas 50 meter persegi, menjadi lahan pertanian produktif. Mereka mampu menghasilkan cabai sekira 14-19 kg sekali panen per bulannya dan memberi pemasukan Rp500.000/bulan. Lorong yang dibangun dengan konsep instagramable ini, akan jadi daya tarik wisatawan. Terdapat berbagai seni mural sebagai daya pikatnya

Ambiguitas Lorong Wisata

Saya cukup tahu konsepsi lorong dari Walikota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto, karena merupakan editor buku “MasaDPan Makassar,, Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan” (2014). Saya juga pernah jadi host acara “Beranda Pak RT”, RRI Pro1 FM 94,4 Mhz Makassar, tahun 2016-2020, yang membahas program-program Pemkot Makassar, dengan menghadirkan Ketua RT, Ketua RW, Ketua LPM, pelaku UMKM, pengelola bank sampah, Lurah hingga Camat, sebagai narasumber. Jadi bahasan seputar lorong dalam tataran paktik, cukup saya pahami. Lorong Garden (Longgar), Lorong Sehat (Longset), Lorong KB, dan sejenisnya, saya duga kini yang diubah menjadi Lorong Wisata (Longwis).

BACA JUGA:  Refleksi Hari Janda Internasional 2025, Menghapus Stigma Merangkul Kemuliaan

Meski program Longwis itu mendapat apresiasi dan mencatatkan prestasi bagi Pemkot Makassar, tapi ada beberapa catatan kritis, yang perlu jadi bahan evaluasi. Catatan kritis ini juga menjadi masukan untuk penataan dan pengembangan Longwis ke depan. Harus diakui Longwis merupakan potensi bagi Pemkot dalam menggerakkan sektor pariwisata dengan segala dampak ikutannya kepada masyarakat.

Pertama, ada Lorong Wisata yang hanya sekadar dipasangi spanduk dari bahan vynil (digital printing) yang tidak ramah lingkungan. Mengapa tidak dibuat dengan tulisan tangan yang indah, hasil kreasi warga atau perupa di kelurahan itu. Bukankah mereka membuat mural di sepanjang tembok lorong atau dinding rumah warga? Sehingga, dengan tulisan tangan akan jauh lebih menyatu serta tentu lebih kreatif dan menarik.

Kedua, semangat Pemkot Makassar yang mau mengedepankan istilah lokal tercederai dengan penamaan lorong yang menggunakan nama-nama kota dari berbegai negara. Istilah “sombere”, “tangkasaki”, “rantasa”, “jagai anakta”, yang dipakai mestinya juga menjadi pola dalam penamaan lorong-lorong yang notabene berada di Makassar. Sayangnya, yang terjadi justru penamaan lorong menggunakan nama-nama kota di berbagai negara, seperti Lorong Wisata Sydney dll.

BACA JUGA:  Gaya Politik Alam Kubur

Dengan penamaan yang sekadar meminjam dan asal comot nama-nama kota internasional, membuktikan bahwa Pemkot Makassar secara instan mau cepat menyebut dirinya sebagai kota dunia. Namun, kota dunia yang tidak punya jati diri. Bahkan secara tanpa hak menggunakan nama-nama kota itu untuk dilekatkan secara paksa pada lorong yang tidak punya spirit sebagai lorong wisata. Menggunakan nama-nama kota berbau asing juga merusak toponimi dan kekhasan daerah tersebut, yang pasti punya historinya sendiri.