Perempuan Berdaya Bukan Cuma Bekerja, Tapi Jadi Ibu

_Khaeriyah Nasruddin_
Khaeriyah Nasruddin_

Berbanding terbalik dalam sistem Islam. Dalam Islam negara bertanggungjawab untuk memenuhi hak-hak setiap individu termasuk pendidikan, kesempatan untuk berkarya dan bekerja. Hanya saja Islam punya ketentuan untuk perempuan yang ingin tetap berkiprah di ranah publik dan masyarakat. Posisinya sebagai ummu wa’rabbatul bait adalah amanah yang ditetapkan dan tidak boleh digeser, ia bertanggungjawab untuk mengatur urusan rumah tangga serta mendidik anak-anaknya.

Berperan sebagai ummu wa’rabbatul bait adalah peran terbaik sebab melalui rahimnya akan terlahir anak-anak berkualitas, tentu jika dididik dengan baik pula. Fitrahnya sebagai makhluk yang penuh kasih sayang dan lembut menjadikan kehadiran perempuan sangat vital dalam pendidikan anak. Ketika ia mampu menjalankan perannya dengan baik maka akan lahir generasi-generasi berkualitas yang ke depannya bisa memimpin bangsa dan negara. Sementara perempuan bekerja hanyalah sebuah pilihan, dan itu bukan karena tuntutan ekonomi ataupun sosial, sebab kewajiban utama dalam mencari nafkah adalah laki-laki, alias suami. Perempuan pun boleh bekerja asal tidak meninggalkan kewajibannya sebagai ibu, sekalipun bekerja mereka hanya akan mengamalkan ilmu sebagai bentuk kepentingan umat dan Islam.

BACA JUGA:  Kisah di Balik Buku Iwan Tompo, Maestro Lagu Makassar

Bila saat ini investasi dipandang satu jalan terbaik untuk memajukan perempuan agar mereka berdaya dengan kariernya, maka Islam menempatkan perempuan pada posisi mulia dan terhormat, menjadikan mereka sebagai ummu wa’rabbatul bait. Tidakkah kemuliaan perempuan sebagai ibu juga telah Rasulullah gambarkan, seperti hadist berikut ini,

“Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi SAW menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi SAW menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi SAW menjawab, ‘Kemuidian ayahmu.'” (HR Bukhari dan Muslim).

“Orang yang paling agung haknya terhadap seorang perempuan adalah suaminya, sedangkan orang yang paling agung haknya terhadap seorang laki-laki adalah ibunya.” (HR. Imam Al-Hakim).

Beginilah kacamata Islam dalam memanfaatkan potensi perempuan. Sejatinya mendidik perempuan berarti investasi untuk membangun peradaban bukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

WalLâhua’lam…

_Khaeriyah Nasruddin_
_Penulis saat ini menempuh pendidikan di Pascasarjana UIN Alauddin Makassar dan aktif sebagai Content Creator._