Pengantar Buku Riset Internasional LSI Denny JA: MENENTUKAN KEMAJUAN NEGARA MELALUI INDEKS TATA KELOLA PEMERINTAHAN

Pembangunan Manusia menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai poros utama. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) mencakup akses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

Negara seperti Norwegia telah menunjukkan bahwa kemajuan bukan hanya GDP, tapi kualitas hidup yang dirasakan oleh seluruh warga.

Digitalisasi Pemerintahan membuat layanan publik lebih cepat dan transparan. Di era teknologi, negara yang lambat bertransformasi digital akan tertinggal jauh.

Korea Selatan dan Denmark menjadi contoh bagaimana digitalisasi memperkuat efisiensi dan kepercayaan publik.

Keberlanjutan Lingkungan menjadi dimensi tak kalah penting. Di tengah perubahan iklim global, negara harus menyeimbangkan pembangunan dengan konservasi alam.

Tanpa kebijakan hijau, kita mewariskan kehancuran pada generasi seperti Alif.

-000-

GGI adalah indeks komposit. Ia mengambil data dari lembaga global seperti World Bank, UNDP, EIU, Yale University, dan PBB. Perhitungannya dilakukan melalui normalisasi, pembobotan, dan agregasi dari enam dimensi utama. Total 187 negara diukur dalam indeks ini.

Tahun 2024, Denmark, Finlandia, dan Swiss berada di peringkat tiga besar. Indonesia berada di peringkat 79 dari 187 negara, dengan skor 54,575

BACA JUGA:  Yogyakarta, Meutia Hatta, dan Cerita Ketinggalan Pesawat

Meskipun mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019, Indonesia masih berada di kuadran IV: negara dengan tata kelola buruk dan pendapatan per kapita rendah.

Analisis kuadran menunjukkan bahwa semua negara dengan tata kelola baik (GGI > 70) adalah negara dengan pendapatan per kapita tinggi (di atas US$14.000).

Tidak satu pun negara miskin yang memiliki skor GGI tinggi. Koefisien korelasi GGI dengan pendapatan per kapita adalah 0.805 (p<0.001). Artinya, peningkatan kualitas tata kelola hampir pasti berbanding lurus dengan peningkatan kemakmuran.

-000-

Namun, sebuah indeks tak pernah cukup menjadi mantra penentu arah. Ia harus ditanyai, dipertanyakan: sejauh mana ia mampu menangkap bisikan getir dari pelosok-pelosok sunyi seperti milik Alif?

Di balik angka 54,575 yang tertera anggun di layar presentasi, bersembunyi paradoks yang menyayat: desa-desa di Nusa Tenggara yang gelap gulita, atap sekolah yang runtuh di Papua, atau prosedur birokrasi yang perlahan memadamkan nyala mimpi.

Estonia bisa saja jadi mercusuar reformasi, namun kita tak bisa menjiplak jalan yang tumbuh dari sejarah dan kultur yang berbeda.

BACA JUGA:  Badaruddin Amir dan Buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia

Indonesia harus menggali jalannya sendiri, dengan keberanian membongkar akar lama yang membatu. Ini sebuah warisan Orde Baru, di mana kekuasaan dan modal kerap berbisik mesra di lorong-lorong yang tak terdengar.