Pada RPTRA itu ada kegiatan tentang bina keluarga balita PAUD, Posyandu, perpustakaan anak, tempat bermain dan berolahraga, kegiatan-kegiatan kreatif dan kesenian, layanan kebencanaan, dan beberapa kegiatan lainnya. Di RPTRA itu juga ada sejumlah fasilitas yang menuntut kemampuan perencanaan dan penataan ruang.
Adapun ruang-ruang yang dibutuhkan itu, antara lain ruang serbaguna, ruang perpustakaan, ruang laktasi bagi ibu-ibu menyusui, ruang PKK, toilet, dapur bersih, dan tempat cuci tangan. Selanjutnya, juga diperlukan fasilitas lapangan olahraga, tempat bermain anak, jogging track, panggung terbuka (amphitheatre), berbagai jenis tanaman obat keluarga (toga), tempat parkir sepeda, dan tersedia bangku-bangku taman yang nyaman.
Kesemua ini baru satu aspek, ketika kita bicara KLA. Belum lagi kalau disinggung tentang kota ramah disabilitas, kota yang ramah perempuan, atau kota yang ramah lingkungan. Akan ada sederet ketentuan yang mesti dipenuhi pemerintah sebagai representasi negara yang punya kewajiban-kewajiban (state obligation).
Dalam bahasa sederhana, membicarakan tata ruang dan perencanaan wilayah berarti juga membincangkan ruang-ruang demokrasi dari masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Jadi, mereka yang terlibat dalam perumusannya perlu punya kepekaan, berkeadilan, dan berkeadaban. Termasuk, memahami latar belakang agama dan budaya, yang akan punya irisan kepentingan dengan kebutuhan religiusitas dan nilai-nilai kearifan lokal setempat. Kata kunci kita sebagai suatu bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika juga menjadi prinsip yang mesti dikedepankan.
Nah, di sinilah pentingnya para penyelenggara negara, dengan segala otoritasnya itu, punya perspektif dan visi, tak hanya kompetensi teknis. Mereka mesti berpikir menyeluruh ketika terlibat dalam perancangan suatu kawasan atau kota, dan tentu saja menggunakan pendekatan partisipatif.
Bahkan mendengar orang-orang yang punya hak suara tapi tidak terserap oleh anggota dewan yang terhormat di parlemen, dan dinafikan oleh birokrat lintas organisasi perangkat daerah melalui musrenbang. Mereka adalah orang-orang marginal yang terpinggirkan dari proses pembangunan. Nanti, ketika kota didera banjir, dibekap kemarau panjang, digerus tanah longsor, dan terdampak berbagai bencana lainnya, baru mereka merasakan ‘buah dari pembangunan’ yang salah kelola dan salah urus itu.
Yang saya tulis ini, hanya remah-remah dari sederet problem tata ruang. Hanya kepingan kecil puzzle dari kajian yang begitu intens dilakukan oleh saudara Mohammad Muttaqin Azikin, dalam buku “Tata Ruang dan Problem-Problem Planologis” ini. Sebagai penulis, saudara Mohammad Muttaqin Azikin tentu sudah menunjukkan perhatian, kepedulian, dan keberpihakan.