Oleh: Husaimah Husain (Aktivis NGO, Alumni Fakultas Hukum Unhas 87)
NusantaraInsight, Makassar — Saya biasa menyapa dengan nama akrabnya Kaka Boer, tapi nama lengkapnya Muhammad Burhanuddin. Saya mengenalnya saat kami sama-sama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Unhas, tahun 1987.
Terkait perkenalan itu, sebatas baku tau saja, sama sama anak FH UH. Dia bukan sahabat yang banyak bicara, tapi kehadirannya selalu menenangkan. Kami tidak banyak berinteraksi langsung di kampus kecuali saling sapa dan senyum saat ikut perkuliahan yang sama.
Setelah kami selesai kuliah bahkan boleh dibilang jarang sekali bertemu.
Saat saya terkena Covid, orang yang pertama mengirim WA adalah Kaka Boer. “Janganki stress,” kira-kira begitu pesannya. Ada juga Kaka Harun yang lebih duluan mendapat perawatan di rumah sakit karena Covid-19, yang mengingatkan saya untuk pemeriksaan lengkap.
Kembali ke Kaka Boer, tiba-tiba saya dapat kiriman 2 botol vitamin dan Plossa yang bisa dihirup. Karena mengandung minyak kayu putih, sebagai upaya untuk melegakan pernapasan.
“Kaka Ema, ini ada 2, saya kirim nanti. Kalau habis mi minyaknya, saya kirimkanki lagi. Susah bela sekarang dicari barang ini. Tiba-tiba menjadi langka,” kira-kira begitu infonya ke saya.
Kepeduliannya itu, seolah kontras. Sebab Om Boer ini, orangnya lebih banyak diam. Sampai saya menjuluki dia TV rusak: ada gambar, tidak ada suara. Namun, sekali dia bicara maka kelar semuanya.
***
Saat beliau memilih jalur politik, saya ikut membantu. Meskipun Tuhan menghendaki dia berkiprah di tempat lain. Om Boer merupakan advokat yang sering membela kasus-kasus selebritas, atau yang lagi dapat publikasi luas.
Sekarang Kaka Boer merupakan ketua kami di angkatan 87 Fakultas Hukum Unhas. Kami banyak bertemu di momen-momen gerakan.
Jika saya ke mama kota, tak pernah Kaka Boer tidak menyiapkan waktu untuk bertemu. Entah itu dijamu makan siang, makan malam, atau sekadar ngopi-ngopi sambil diskusi tentang demokrasi, HAM, dan isu-isu perempuan. Namun tetap pembawaanya santai, tidak banyak bicara. Senyumnya saja yang terlihat.
Beberapa kali dia menghubungi saya. “Kaka Ema, ke Jakarta maki. Perlu ki berkiprah di Jakarta. Kita akan saling membantu. Ayomi,” ajaknya.
Saya menyikapi dengan senyum saja hehehhehe.
Saya pernah bertanya, kenapa sedikit sekali ki bicarata Kaka Boer, tidak seperti saya yang bicara kayak kereta api wkwkkwkwkw ….
Dia hanya tersenyum kecil. “Kadang, orang tidak butuh jawaban. Mereka hanya butuh seseorang yang mendengar,” katanya.
Seddi to pendapa….