Oleh Arjuna Asnan Amin
(Alumni Departemen Sejarah FIB Unhas )
NusantaraInsight, Makassar — Nama Mayor Thoeng Liong Hoei mungkin belum banyak dikenal oleh masyarakat Makassar hari ini.
Padahal, pada masanya, ia adalah salah satu tokoh penting yang meninggalkan jejak besar dalam sejarah sosial dan kemanusiaan kota ini. Kisahnya bukan hanya tentang darah dan perjuangan, melainkan juga tentang kepedulian, keberanian, dan pengabdian kepada sesama.
Thoeng Liong Hoei lahir di Makassar pada akhir abad XIX dari keluarga pedagang Tionghoa terpandang. Sejak muda, ia dikenal cerdas, dermawan, dan aktif membantu sesama tanpa membedakan suku atau agama.
Ia pertama kali diangkat sebagai Capitan Cina sebelum akhirnya dipromosikan menjadi Mayor Cina, jabatan tertinggi yang diberikan pemerintah kolonial kepada pemimpin komunitas Tionghoa.
Namun bagi Thoeng, jabatan itu bukan kehormatan pribadi, melainkan amanah untuk melayani masyarakat. Sebagai Mayor, ia banyak berbuat di Makassar. Ia mendukung pembangunan fasilitas umum. Memberi bantuan sosial kepada keluarga miskin. Juga menjadi penengah dalam hubungan antarwarga.
Pada masa-masa sulit, Thoeng kerap membuka gudang dagangannya untuk membantu warga yang kekurangan pangan. Ia percaya bahwa kesejahteraan hanya dapat terwujud jika semua orang hidup dalam harmoni dan saling menolong. Bahkan, ia membantu warga pribumi yang tertindas kebijakan kolonial. Ini menunjukkan bahwa kemanusiaan baginya jauh lebih penting daripada perbedaan asal usul.
Kepeduliannya meluas hingga ke luar negeri. Pada tahun 1916, Thoeng menyumbangkan seribu gulden dari hartanya untuk korban banjir besar di Zuiderse, Belanda.
Ia juga menyumbangkan sejumlah besar uang ke Negeri Tiongkok untuk membantu para pengungsi dalam negeri yang terdampak perang saudara.
Sosoknya mencerminkan semangat kemanusiaan universal. Seorang warga dunia yang tetap berpijak kuat di tanah kelahirannya, Makassar.
Dalam kehidupan pribadi, salah satu istrinya, Ince Kuma, merupakan keturunan bangsawan dari Pangeran Gowa dan Pangeran Diponegoro. Dari pernikahan ini, Thoeng semakin diterima sebagai bagian dari masyarakat Makassar secara luas.
Hubungan itu menjadi jembatan penting antara komunitas Tionghoa dan masyarakat Bugis-Makassar.
Secara keseluruhan, ia memiliki sepuluh anak, delapan laki-laki dan dua perempuan. Beberapa di antaranya dan keturunannya masih tinggal di rumah leluhur di Jalan Bacan, yang menyimpan lukisan sang Mayor dengan medali dari Kerajaan Belanda dan Pemerintah Tiongkok