Di hari kedua, baru saya ketahui, ternyata stan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Enrekang (Dispustaka), menyediakan kopi bagi pengunjung di situ. Itu pun setelah ditawari Dr Irsan, S.IP, M.IP, Pustakawan Ahli Muda, yang meracik sendiri kopi layaknya barista.
Dr Irsan memperlihatkan brand lokal, Makkasia Coffee dan Ebro Coffee. Lalu meracik kopi Arabika Kalosi itu pada mesin kopi yang diletakkan di belakang buku-buku yang dipamerkan. Menariknya, merek Ebro tak hanya dipakai untuk label produk kopi tetapi juga untuk kripik bawang dan minuman sari kayu manis.
Dr Irsan menjelaskan, kopi Arabika Kalosi merupakan identifikasi geografis untuk kopi asal bumi Massenrempulu’ tersebut. Identifikasi geografis adalah tanda yang menunjukkan asal suatu barang atau produk dari suatu daerah tertentu, di mana kualitas, reputasi, dan karakteristiknya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan geografis, seperti alam dan manusia.
Sebagai informasi, kopi Arabika Kalosi, Enrekang, sejak tahun 2013, sudah mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis (IG) dari Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. Ada 21 kopi terbaik Indonesia yang sudah mengantongi IG, termasuk kopi Arabika Kalosi yang disuguhkan kepada saya.
Kopi ini memiliki identifikasi geografis yang terikat pada daerah dataran tinggi Enrekang. Daerah ini memiliki kondisi alam unik berupa tanah purba yang kaya zat besi. Sehingga menghasilkan kopi dengan kualitas dan rasa khas, seperti kekentalan yang bagus, keasaman rendah, rasa cokelat, dan aroma buah jeruk yang kuat.
Sambil ngopi, sesekali mata saya menyisir judul-judul buku yang dipajang di rak. Antara lain, ada buku berjudul “Agroliterasi”, “Perihal Karrang dan Prakarsa Literasi Lokal”, “Lokalitas Enrekang dan Budaya Literasi”, juga buku “Jejak Arsitektur Rumah Duri”.
Buku terbitan lebih lama juga dipamerkan. Misalnya buku “Perjanjian Bersaudara Sawitto dan Enrekang” yang ditulis H Puang Palisuri, dan buku “Massenrempulu Menurut Catatan DF Van Braam Morris” yang diterjemahkan oleh HAM Mappasamba. Dari sampul buku-buku itu, tampak kalau merupakan koleksi lama Dispustaka.
Saya memuji Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Enrekang, yang kreatif dengan memfasilitasi penulisan dan penerbitan buku-buku tema lokal. Dr Irsan, yang juga merupakan Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Kabupaten Enrekang, mengungkapkan bahwa instansinya memang kerap mengadakan pelatihan dan menghasilkan produk dalam bentuk buku.
Keseruan ngopi di Festival Literasi Sulawesi Selatan 2025 berlanjut, ketika saya diajak bergabung bersama para dedengkot pustakawan di tenda yang hanya berjarak selangkah dari stan Dispustaka.