Nasrul dan Hikayat di Balik Buku M Hidayat

Saya sendiri punya kesan mendalam selama dan sepulang dari Selayar. Saya ingat, pagi hari, saya ikut sarapan di Rujab Kapolres bersama para perwira Polres Kepulauan Selayar sambil mencicipi nasi goreng buatan Marthen Sepang (Toko Tondano). Nasi goreng yang diakui enak oleh Pak Hidayat. Benar saja, rasa pedas nasi goreng itu menjadi daya pikatnya untuk nambah. Sembari sarapan bersama, saya menyaksikan suasana ‘rapat’ Mohammad Hidayat dengan bawahannya. Mereka memberi laporan perkembangan situasi, sementara sang Komandan memberi arahan dan petunjuk. Kami bukan hanya sarapan di Rujab Kapolres, bahkan nginap di rujab yang berada dalam area Mapolres Kepulauan Selayar.

Ketika kami makan malam di Warung Nasi Santan Botak, ada kejadian tak terlupakan, yang sering saya ceritakan kepada keluarga. Saat itu, kami makan nasi santan dan ikan bakar bersama beberapa anak buahnya. Nasi santan dengan ikan bakar, daun kemangi, mentimun, tumis kangkung, dan sambal merupakan kuliner andalan daerah itu. Di depan kami—saya kebetulan duduk berhadapan dengan Pak Hidayat—masing-masing terhidang satu porsi nasi santan dan dua ekor ikan bakar. Saya cukup lahap makan, sehingga dua ekor ikan jatah saya cepat tandas. Melihat di atas piring saya hanya bersisa tulang, Pak Hidayat spontan memindahkan seekor ikannya yang masih utuh ke piring saya.

BACA JUGA:  Dunia Anak, Teater, dan Kerja Kultural Seorang Bahar Merdu

Kejadian serupa berulang saat saya mengajak anak saya, San Valentino Mahatma Gandhi, menemui beliau di salah satu hotel di kawasan Tanjung Bunga, Makassar, untuk kepentingan meng-update informasi terkait penyusunan bukunya. Kali ini bukan ikan, tapi ayam goreng. Di pungujung makan siang itu, sisa ayam tinggal dua potong. Sementara kami berempat: saya, Gandhi, seorang teman Pak Hidayat, dan Pak Hidayat. Secara refleks Pak Hidayat memindahkan satu potong ayam ke piring saya, dan sepotongnya lagi ke piring anak saya, Gandhi.

Kepedulian dan perhatian tampaknya merupakan kunci pertemanannya. Hidayat memang dikenal sebagai polisi yang gaul dan bersahabat. Ini buktinya. Saat pulang dari Selayar, saya mabuk berat. Teman saya, Pak Nas, menyampaikan bahwa saya muntah. Padahal, saya sudah berusaha untuk menyiasati agar tidak ‘dipermainkan’ ombak laut, dengan naik ke ruang kerja nakhoda Kapal Ferry Bontoharu. Namun, rupanya tidak mempan. ‘Bakat bawaan’ mabuk laut tak bisa dihindari. Begitu tiba di Bira, Kabupaten Bulukumba, dalam perjalanan kembali ke Makassar, kami singgah untuk makan dan ngopi. Setelah mendengar bahwa saya mabuk laut, saya diberi tips agar bisa segera pulih. Semula saya ragu karena sudah minum kopi susu. Tapi Pak Hidayat meyakinkan, katanya, untuk mengeluarkan angin (bersendawa) maka saya perlu minum-minuman bersoda.