Menyamar sebagai Karyawan EMKU

Panda Nababan
Menlu RI Adam Malik menyerahkan Piala Adinegoro kepada Panda Nababan, 1976.

Setelah merasa cukup memahami seluk-beluk “permainan” aparat di Halim, Panda pun mengonfirmasi teman-teman di redaksi kepada pihak yang berwewenang di Halim. Laporan berseri Panda muncul di SH 27 s.d. 29 Oktober 1975, bertajuk “Mengamati Pelabuhan Udara Halim PK”.

Panda mendeskripsikan hasil pekerjaannya sebagai “karyawan EMKU” dua minggu itu di SH secara manis. Serial laporan ini membawa berkah bagi Panda. Dia diganjar Anugerah Jurnalistik Adinegoro, penghargaan tertinggi atas karya jurnalistik wartawan di republik ini pada tahun 1976. Adam Malik menyerahkan penghargaan bergengsi itu.

Namun, saat seri pertama tulisan itu tayang di SH, banyak intimidasi dan teror dialamatkan ke kantor SH. Bentuknya, melalui pesan-pesan yang disampaikan ke wartawan lain. Isinya, minta Panda menghentikan tulisan tentang Halim tersebut. Melihat gelagat yang kurang baik itu, Pemred SH, menasihati Panda kabur sementara dari Jakarta selama serial tulisan itu tayang. Panda menolak, dia tetap pulang ke rumah. Dia merasa tidak ada bahaya apa-apa.

Pasca-seri kedua tayang, suatu malam, saat Panda ke Pasar Santa, Kebayoran Baru yang menyita waktu relatif lama, para tetangga melaporkan, datang segerombolan laki-laki tegap berambut cepak berkendaraan jip. Mereka menyatroni rumah Panda yang saat itu hanya ditunggu seorang asisten rumah tangga. Rombongan laki-laki tak dikenal itu masuk secara paksa dan mengacak-acak mencari Panda Nababan.

BACA JUGA:  Prof Aswanto, Pemilukada Sulawesi Selatan, dan “Komit Damai”

Begitu Panda tiba di rumah, warga satu kompleks dengan dia heboh. Para tetangga mendatangi kediaman Panda. Dari mereka diketahui, gerombolan laki-laki tadi rupanya ingin menculik Panda Nababan, Aksi yang memang lagi tren pada masa itu. Setelah situasi itu, Panda Nababan bersama keluarga tetap bergeming. Tetap tinggal karena merasa sudah menjadi warga di permukiman tersebut. Sudah cukup lama dan akrab dengan warga kampung tersebut yang sebagian besar orang Betawi.

“Saya tak merasa takut, buat apa mengungsi!,” kunci Panda Nababan pada halaman 136 bukunya. (11 Agustus 2025).

br
br