Lewat lembaga-lembaga dan konsorsium ini, bersama Kak Mappi, kami berinteraksi dengan sejumlah figur dan tokoh pendamping dan penggerak masyarakat. Mereka, para dedengkot ORNOP itu, adalah Asmin Amin, Zohrah Andi Baso, Christina Joseph, H. Azhar Arsyad, Mappinawang, Sufri Laude, Andi Anton Pangerang, Bachrianto Bachtiar, Bahtiar Besar (Lekmas) dan Bachtiar Kecil (BLPM Lakpesdam). Masih ada nama lain, yakni Agus Salim Munadah (Yalbindo), May Januar (Tengko Situru), Sombolinggi, A. Saddakati, Rusman Mejang, Mulyadi Prayitno, Zulkifli Amin, Fadiah Machmud, Andi Yudha Yunus, Andi Tenri Palallo, dan sederet nama lainnya.
Dalam banyak interaksi, Kak Mappi selaku kakak dan sahabat sekaligus, dengan penampilannya yang sederhana, pembawaan yang tenang, senantiasa memberi nasihat, saran dan masukan bagi yang muda-muda.
Kami bersama almarhum, juga tergabung dalam Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel. Ketua LPA Sulsel pertama adalah Prof. Dr. H. Mansyur Ramli (Rektor UMI). Pengurusnya ada Asmin Amin, Fadiah Machmud (LML), Christina Joseph (LBH P2i), Selle KS Dalle (Yapta-U, mantan anggota DPRD SUlsel, saat ini Wakil Bupati Soppeng), Rusdin Tompo (wartawan radio), dan lain-lain. Abdul Rasyid Idris dari Yayasan Jati, menjadi jejaring LPA. Sementara donor LPA dari Unicef, yang saat itu dipimpin Purwanta Iskandar.
Sekali waktu, saya menerima informasi dari Nuryanto G. Liwang (alm), Manager Program Anak dari LSM Yasindo, bahwa ada kejadian yang membuat kami semua marah, sesak dan mau ngamuk. Pasalnya, seorang pengemis tua (WP) berusia kisaran 60-an tahun dan buta, atas bantuan penuntunnya, me-rudapaksa seorang tuna wisma perempuan (Bulan, nama samaran) yang masih berusia sekira 12 tahunan. Korban diiming-iming imbalan sejumlah uang dari hasil mengemis.
Dengan segala keterpaksaan, saya harus membangunkan Kak Mappi tengah malam melalui telepon seluler. “Assalamu Alaikum Kak Mappi, maaf saya ganggu ki malam-malam. Ada kondisi emergency. Kalau berkenan, saya tunggu ki di Rumah Singgah Yasindo”.
Almarhum menjawab spontan dalam bahasa Makassar dialek Selayar. “Tajangma”, ujarnya singkat.
Ketika Kak Mappi tiba sekira pukul 01.00 dinihari di Rumah Singgah yang kami sewa di bilangan Jalan Baji Minasa, kami semua bersama sejumlah aktivis perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan, tengah duduk melingkar, termasuk 2 orang pelaku dan 1 korban.
Kak Mappi melihat saya naik pitam, karena sesekali memukul kaki pelaku dengan tongkat kayunya yang selama ini dia pakai menuntun jalanannya. Secara spontan almarhum menegur saya dan menyimpan tongkat tersebut.