Joe Biden adalah kasus yang terbalik. Asosiasi Kamala Harris dengan Joe Biden justru menjadi penyebab kekalahannya. Lebih banyak pemilih yang tak puas kepada Joe Biden selaku presiden dibandingkan yang puas.
Trump memang dicitrakan negatif oleh media arus utama, yang menyebutnya berbohong hingga 30.573 kali selama menjadi presiden (The New York Times). Itu citra yang sebenarnya bisa menghancurkan Trump.
Masalahnya, lawan Trump, Kamala Harris, punya kelemahan yang lebih besar lagi. Bukan masalah moral, tapi karena ia terasosiasi dengan Joe Biden, yang approval rating-nya sangat rendah.
-000-
Namun ada beberapa alasan lebih detail untuk menjelaskan kemenangan Donald Trump.
Pada pemilu Amerika, kunci untuk menang terletak pada mengamankan “swing states”. Itu negara bagian yang hasil pemilihannya sering kali berubah-ubah setiap pemilu.
Di wilayah Swing States, kadang capres Demokrat yang menang, kadang capres Republik yang unggul.
Itu berbeda dengan negara bagian yang pemenangnya selalu capres Republik seperti Texas, atau negara bagian yang pemenangnya selalu capres Demokrat seperti New York.
Negara-negara bagian Swing States meliputi Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin.
Apa yang Trump lakukan untuk menang di Swing States? Trump memanfaatkan ketakutan sebagian penduduk terhadap imigran ilegal yang dianggap merusak peluang kerja dan keamanan mereka.
Trump menggambarkan imigran ilegal sebagai “ancaman” terhadap integritas dan ekonomi nasional. Ini menarik simpati kelas pekerja dan mereka yang merasa hidupnya semakin terdesak.
Dengan retorika “America First,” Trump memperkuat pandangan bahwa hanya seorang pemimpin yang berkomitmen pada prioritas nasional yang mampu menjaga Amerika dari pengaruh luar.
Trump menyatakan ini tak bisa dilakukan oleh Joe Biden ataupun penerusnya, Kamala Harris.
Sentimen ini berhasil memengaruhi pemilih di swing states yang merasa terpinggirkan secara ekonomi dan ingin melihat kebijakan yang mendukung pekerja dalam negeri.
Melalui janji untuk memulihkan “kebanggaan Amerika” dan melindungi pekerjaan lokal, Trump juga mendapat dukungan kuat dari kalangan konservatif, nasionalis, dan pekerja kulit putih.
Mereka melihat Donald Trump sebagai pemimpin yang dapat menjaga nilai-nilai tradisional Amerika.
Trump juga mengusahakan agar kekalahannya di kalangan pemilih kulit berwarna—Afrika-Amerika, Hispanik, dan Asia—bisa diminimalisasi.
Trump memilih banyak tokoh Hispanik, kulit hitam, Muslim, dan Asia untuk menjadi juru kampanyenya. Itu untuk mengesankan kepada segmen pemilih minoritas bahwa Trump pun memperjuangkan nasib mereka.