Pernah sekali waktu, tahun 2015, tidak lama setelah terpilih sebagai Direktur Utama Bank BRI, saya mengirim pesan ucapan selamat atas jabatan puncak yang diembannya di bank tempat dia berkarier dari staf itu. Saya kebetulan sedang di Jakarta bersama putra pertama, Haryadi, dan rekan Basuki Hariyanto, penata letak buku-buku yang saya tulis.
“Selamat yang hangat atas jabatan barunya, Dirut Bank BRI,” pesan saya melalui WA dari kediaman sepupu, Prof.Dr.Ahmad Thib Raya, M.A. di Jl. Matraman Dalam Jakarta Pusat, kemudian memberi tahu saya kebetulan sedang di Jakarta.
“Oh..ya. Saya tunggu di kantor setelah salat Jumat,” Pak Asmawi membalas.
Saya pun memberi tahu ‘rombongan kecil’ saya perihal balasan pesan tersebut.
Kami pun meluncur menggunakan taksi ke Menara BRI yang menjulang tinggi di Jl. Sudirman. Tiba di gedung puluhan tingkat itu, kami bertanya kepada Satpam yang berjaga perihal tujuan kami. Dari gesturnya, Satpam sepertinya tidak percaya kalau kami merupakan tamu bosnya. Mungkin melihat penampilan kami yang tidak mengenakan jas atau dasi. Lantaran habis pulang salat Jumat bahkan Heri, putra saya, masih mengenakan baju kaos.
Melihat bahasa tubuhnya yang cuek, saya pun langsung menelepon Asmawi dan memberi tahu posisi dengan telepon dalam posisi “speaker’ (suaranya dibesarkan).
“Langsung saja ke lantai..,” Asmawi meminta kami menuju lantai yang dimaksud.
“Ini suaranya Pak Dirut yang meminta kami ke tempat beliau,” saya memberi tahu Satpam.
“Siap..,” Satpam itu langsung dalam posisi siap dan membuka serta menekan tombol nomor lantai tujuan kami.
Kebetulan saat itu Asmawi baru saja kembali dari menunaikan salat Jumat dan belum ada tamu. Kami mungkin boleh jadi, tamu pertama yang bertandang ke ruangannya setelah salat Jumat. Saya pun menyampaikan selamat atas jabatan puncak yang dipangkunya, setelah merintis karier dari bawah.
Setelah beberapa menit menikmati minuman ringan di Menara BRI Jakarta, kami mohon diri karena paham akan kesibukan seorang pejabat puncak bank yang pertama kali berdiri di Purwokerto 16 Desember 1895 tersebut. Asmawi menyelipkan biaya taksi kami kembali ke penginapan.
Setelah pertemuan itu, setahun kemudian, tepatnya 2 Juli 2016, saya diajak adik sepupu Hamdan Zoelva menemaninya bermain golf.
Saya sudah tiga empat kali diajak ke lapangan golf, tetapi hanya menjadi penonton. Namun kali ini justru kesempatan yang saya tunggu-tunggu karena salah seorang teman satu grup permainan Hamdan selain Pak Jusuf Kalla (JK) yang saat itu baru dua tahun menjabat wakil presiden untuk kedua kalinya, ada Asmawi Syam. Kebetulan saya memerlukan komentarnya berkaitan dengan sosok Ahmad Amiruddin yang menjadi guru dan ayah ideologinya bersama para aktivis mahasiswa Unhas lain pada masanya.
Untuk memperoleh informasi dari Pak Asmawi, saya harus ikut berjalan dari ‘hole’ ke ‘hole’.