_By RR Bang Maman_
“Tak ada elit tanpa adanya masyarakat konvensional.” ~ Rahman Rumaday
NusantaraInsight, Makassar — Kalimat ini bukan hanya sebatas untaian kata, melainkan fondasi kesadaran sosial yang sering kali luput dipahami oleh mereka yang telah berada di puncak kekuasaan. Elit bukan muncul dari ruang hampa akan tetapi ia tumbuh dari rahim masyarakat, dari jerih payah dan kepercayaan publik yang diberikan, bukan dipaksa.
Namun, sering kita menyaksikan, ketika seseorang telah mencapai posisi elit, yang pertama kali dilupakan justru akar yang membuatnya tumbuh yakni masyarakat konvensional. Ibarat sebelum duduk di kursi, ia rajin membaca ayat kursi. Tapi setelah mendapat kursi, ia lupa pada ayat, lupa pada nilai, lupa pada yang memberi kepercayaan.
Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Jabatan bukanlah kemuliaan, tetapi amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Maka menjadi elit sejatinya bukan puncak kehormatan, melainkan awal dari kewajiban.
Lebih ironis, terkadang kita masyarakat konvensional justru ikut melanggengkan budaya mendewakan elit. Kita memberi mereka status yang terlalu tinggi hingga lupa bahwa mereka adalah pelayan, bukan tuan.
Padahal, seperti yang diingatkan oleh filsuf Voltaire, “Tidak ada orang yang lebih patut dicurigai selain mereka yang terlalu dicintai kekuasaan.”
Elit seringkali terperangkap dalam lingkaran seremonial yakni potong pita, pidato panjang, dan agenda penuh simbolisme. Tapi lupa, substansi keadilan dan kesejahteraan tidak hadir dari seremoni, melainkan dari keberpihakan nyata. Dari turun langsung, dari mendengar jeritan rakyat tanpa mikrofon dan kamera.
Ibn Khaldun pernah berkata, “Kehancuran sebuah peradaban dimulai ketika penguasa lebih sibuk dengan simbol daripada substansi.”
Dan bukankah itu yang kini terjadi? Elit lebih sering berkumpul dengan sesama elit, saling memberi karang bunga, penghargaan dan tepuk tangan, sementara masyarakat hanya menjadi penonton dari kejauhan dilupakan setelah pilpres dan pileg usai.
Padahal, karang bunga itu mestinya diberikan pada rakyat, pada masyarakat konvensional yang dengan susah payah memilih, mendukung, bahkan berjuang agar seorang pemimpin bisa duduk di singgasananya. Tapi setelah duduk, ia lupa dari mana ia berasal.
“Tak seorang pun bisa berdiri tegak jika ia melupakan akar tempat ia tumbuh,” kata bijak.
Inilah buah dari cara pandang yang saya sebut *tidak syamil (komprehensif),* dan *tidak mutakamil (terpadu).* Berpikir hanya untuk elit dan kelompoknya, adalah keterjebakan dalam ego sektoral. Padahal, menjadi elit bukan berarti meninggalkan yang di bawah, tapi justru menjadi jembatan antara kekuasaan dan kebutuhan rakyat.