L.E.Manuhua : Lolos Berkat Kamera Tanpa Film

Manuhua
Presiden Soeharto menyerahkan tanda penghargaan Bintang Mahaputra Utama kepada L.E.Manuhua di Istana Negara 15 Agustus 1994. (Foto: Dok.Buku).

Tak tahan menjadi incaran Belanda, dia memutuskan kabur dari Ambon. Tujuannya Makassar. Tete melarikan diri dengan cara menyelinap ke atas sebuah kapal Belanda yang akan berlayar ke Makassar pada tanggal 19 April 1947. Ketika itu Makassar menjadi ibu kota Indonesia Timur. Tak ada orang yang tahu, termasuk kedua orang tuanya, Manuhua lari ke Makassar. Hanya saja ketika itu dia berangkat dalam kapasitas sebagai salah seorang wartawan Masa.

Malam hari menjelang kapal berangkat, Manuhua naik ke kapal di Pelabuhan Ambon. Dia lalu menyelinap masuk ke kamar salah seorang anggota parlemen yang beraliran kebangsaan. Tak disangka, di kamar itu dia bertemu dengan ibu asuh dan juga gurunya, Ny.Pupela yang mendampingi suaminya menghadiri sidang parlemen NIT di Makassar.

Saat kapal memasuki perairan Makassar, Manuhua sempat gemetar dan khawatir. Pasalnya, beberapa mil sebelum kapal Belanda itu merapat di Pelabuhan Makassar, keluar pengumuman. Semua penumpang dilarang turun. Polisi akan masuk ke kapal untuk mencari orang yang kabur dari Ambon. Mendengar pengumuman itu, Manuhua sempat panik, tetapi kemudian mampu menguasai dirinya, hingga tetap tenang. Manuhua memasang strategi. Ia mengeluarkan tustel, lalu masuk ke kamar nakhoda. Ia berpura-pura memotret kiri kanan, padahal kameranya tanpa film.

BACA JUGA:  Drs.Basman,S.H.,M.M, Bukan Orang Baru di PGRI Palopo

Begitu pun saat kapal sandar, dia tetap melaksanakan aksinya. Hebatnya lagi, sebelum polisi naik ke kapal, Manuhua malah sudah ’mendarat’ di dermaga. Hebohnya pula, malah sempat menjepret polisi yang akan menggeledah kapal. Ketika dia memotret polisi, seperti layaknya aksi fotografer, dia bergerak mundur. Saat itulah dia bertemu dengan penjemput Ny.Pupela. Manuhua pun segera masuk ke truk yang dipakai menjemput keluarga Pupela. Dia selamat tiba di Makassar.

Tete sebenarnya berniat ke Yogyakarta, yang ketika itu menjadi ibu kota Republik Indonesia. Namun beberapa temannya yang menghadiri sidang Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) menganjurkan agar dia tetap memilih tetap tinggal di Makassar.

’’Orang macam kamu banyak di Yogya, justru kamu sangat dibutuhkan di sini,’’ Soegardo, pimpinan Mingguan Pedoman, menyarankan seperti ditulis Asnawin di Koran PWI Sulsel (Maret 2009),

Tete bergabung dengan Mingguan Pedoman yang terbit 1 Maret 1947, bersama Soegardo dan Henk Rondonuwu. Media inilah yang kemudian menjelma menjadi Harian Pedoman Rakyat (PR) hingga ’’akhir hayat’’-nya tahun 2007.

BACA JUGA:  Fenomena Bahasa Media: Kendaraan Antre, Kok Menumpuk

Pertemuan Manuhua dengan Sugardo sebenarnya bermula di pembukaan Parlemen NIT. Saat itu Manuhua bertugas meliput. Selain berkenalan dengan Soegardo, Manuhua juga berkenalan dengan Ketua Parlemen NIT Mr. Tadjoeddin Noer, Sukrisno (Antara Jakarta), Siagam (Yogya), dan Wim Latumeten dari Kementerian Penerangan RI.

br
br