KHOTBAH FILSAFAT HIDUP LEWAT LAGU

-000-

Pada tahun 1965, dunia musik menyaksikan pengkhianatan terbesar. Atau begitulah yang dipikirkan para pengikut setianya.

Dylan yang selama ini dikenal dengan gitar akustiknya, tiba-tiba muncul di panggung Newport Folk Festival dengan gitar listrik. Dentuman drum dan suara listrik menggema, menghancurkan kesunyian yang selama ini mengitari musiknya.

Para penggemarnya terkejut. Mereka mencintainya sebagai suara rakyat, suara kesederhanaan, suara kebenaran yang murni tanpa manipulasi teknologi.

Tapi kini, Dylan berdiri dengan amplifikasi penuh, masuk ke dunia rock and roll yang dianggap komersial dan penuh kepalsuan.

Sorakan protes bercampur dengan suara gitar listriknya. Dylan tidak peduli. Ia tidak pernah berniat menjadi pahlawan yang mereka inginkan. Ia ingin terus berubah, terus tumbuh, terus menantang batasan yang mereka coba paksakan padanya.

Dari seorang pemuda pengembara folk, ia kini menjadi ikon revolusi musik. Lagu-lagunya semakin berani, suaranya semakin lantang, dan dunianya semakin luas.

-000-

Namun ada satu hal yang tak pernah benar-benar dipahami oleh dunia: Dylan sebagai manusia.

BACA JUGA:  Mengenang Sarjan, Jakarta-Lombok Mudik Jalan Kaki

Ia tidak hanya mengganti aliran musiknya. Ia juga mengganti identitasnya, berkali-kali. Namanya, gaya hidupnya, caranya berbicara. Semuanya berubah sesuai dengan perjalanannya.

Ia adalah sosok yang misterius, sulit dipahami, seperti puisi yang maknanya terus berubah tergantung dari mana kita membacanya.

Di tengah ketenarannya, ia juga jatuh cinta. Joan Baez, ratu folk yang suaranya seperti kaca yang pecah dalam keindahan, menjadi bagian dari hidupnya selama empat tahun.

Mereka berbagi panggung, berbagi mimpi, berbagi lagu yang menjadikan mereka legenda.

Tapi Dylan bukanlah seseorang yang bisa ditahan oleh cinta. Ia bukan pujangga yang menulis soneta untuk satu hati selamanya.

Suatu hari, ia menulis lagu yang menjadi perpisahan: It Ain’t Me, Babe.

“Pergilah dari jendelaku, lenyaplah dalam malam yang pekat. Aku bukan dia, bukan aku yang kau cari.”

Dan begitu saja, ia pergi. Seperti angin yang tidak bisa dikurung dalam botol, seperti sungai yang tidak bisa ditahan dalam wadah kecil.

Ia terus berjalan, mencari sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu.

BACA JUGA:  Cerita di Balik Syuting Program Inspirasi Indonesia TVRI Pusat di Desa Paddinging, Kabupaten Takalar

-000-

Dylan tidak pernah benar-benar kembali ke folk. Ia tidak menyesali pilihannya. Ia tidak meminta maaf atas perubahan yang ia buat.

Ia mengajarkan dunia bahwa seorang seniman bukanlah milik siapa pun. Ia bukan milik penggemarnya, bukan milik zamannya, bahkan bukan milik dirinya sendiri.

Ia hanya suara yang bergema, mencari bentuk baru, mencari cara baru untuk menceritakan kisah lama dengan warna yang berbeda.