Chalamet memerankan Dylan seperti Rami Malek memerankan Freddie Mercury. Terasa seni perannya begitu mendalam hingga batas antara aktor dan karakter mengabur. Ia pun dinominasikan untuk Aktor Terbaik Oscar 2025.
Bob Dylan datang ke New York pada awal 1960-an seperti seorang musafir yang berjalan tanpa peta. Ia hanya membawa gitar dan hasrat yang membara dalam dirinya.
Ia bukan siapa-siapa. Seorang pemuda kurus dari Minnesota yang suaranya serak, gitarnya sederhana, dan namanya pun bukan asli.
Robert Allen Zimmerman memilih membuang identitas lamanya, menamai dirinya Bob Dylan. Ini sebuah nama yang kelak mengubah sejarah musik dan sastra dunia.
Tapi sebelum dunia mengenalnya, ia datang dengan satu tujuan: menemui Woody Guthrie. Ini raja folk yang sakit keras, terbaring di rumah sakit dengan tubuh yang tak lagi bertenaga, tetapi jiwanya tetap bernyanyi.
Guthrie adalah nabi bagi kaum tertindas, suara dari padang tandus Amerika. Ia seorang yang memahami derita buruh, petani, dan mereka yang kehilangan rumah di tengah kemewahan kota.
Dylan duduk di sampingnya, memandang idolanya dengan penuh takzim. Ia memainkan lagu untuknya. Bahkan Dylan membuat sebuah lagu untuknya.
Dylan tidak sedang mencari pujian, melainkan sebagai persembahan bagi seseorang yang telah mengajarkannya makna keberanian dalam musik. Lagu itu kelak menjadi manifestonya sendiri, sebuah langkah pertama menuju takdir yang akan menjadikannya legenda.
-000-
Dari rumah sakit itu, Dylan membawa pulang semangat Guthrie ke jalanan New York, ke kafe-kafe kecil di Greenwich Village yang dipenuhi kaum bohemian, penyair mabuk, dan seniman tanpa tujuan.
Di sanalah ia menemukan suaranya sendiri. Ia tidak hanya menyanyikan lagu-lagu tentang cinta atau kehilangan, tetapi juga tentang perang, ketidakadilan, dan harapan.
Kemunculannya di panggung-panggung kecil mulai menarik perhatian. Ia tidak tampan seperti bintang Hollywood, suaranya pun tidak merdu seperti penyanyi lainnya.
Tapi ia memiliki sesuatu yang lebih tajam: lirik yang menusuk dan ketulusan yang tak bisa dibeli. Lagu-lagunya seperti nyanyian kenabian yang menggema di antara generasi yang haus akan makna.
Tak butuh waktu lama sebelum dunia memperhatikannya. Album-albumnya mulai meledak, suaranya menjadi suara zaman, dan Dylan menjadi raja folk akustik.
Di setiap sudut kota, orang-orang menyanyikan Blowin’ in the Wind, bertanya-tanya kapan dunia akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung usai.
Tapi Dylan tidak pernah mau tinggal dalam satu bentuk. Ia seperti sungai yang selalu mengalir, tidak ingin menjadi patung yang disembah. Dan itu yang membuatnya berbeda.