Saat kemenangan yang datang bukan sekadar kemenangan politik: tetapi kemenangan harapan, kemenangan yang menggetarkan sistem yang telah lama diam karena “ini sudah jalan‐nya seperti ini”.
Dan ketika saban orang bertanya: “Mengapa ini bisa terjadi?” maka jawabannya terletak pada perpaduan antara iman, kerja keras, solidaritas dan doa.
Di sinilah hadir sosok Imam Shamsi Ali, seorang ulama Indonesia yang menapaki jejak di negeri asing, namun tetap memegang akar-nilai: pemberdayaan, dialog, dan doa untuk kemanusiaan.
Shamsi Ali menyakini bahwa salah satu pintu kemenangan itu adalah melalui pembacaan Al-Fatiha — surat pembuka kitab suci yang menyatakan: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam…” Bagi beliau, bacaan ini bukan ritual kosong, tetapi simbol bahwa setiap usaha kemanusiaan hendaknya diawali dengan kerendahan hati, dengan kesadaran bahwa kekuatan sejati bukan semata strategi kekuasaan, melainkan doa yang tulus dan ikhlas.
Dalam kerangka itu, keberhasilan Zohran Mamdani menjadi metamorfosis kondisi: dari “sistem lama” ke “kesempatan baru”, dari “politik yang terpinggirkan” ke “politik yang mengakomodasi”.
Di sini, Al-Fatiha menjadi metafora: pembuka jalan, doa untuk taufik dan petunjuk, permohonan agar setiap niat baik bisa dipenuhi oleh kuasa Yang Mahaberkah.
Bayangkan ketika setelah kemenangan politik diumumkan, komunitas Muslim – imigran yang turut mendukung – berkumpul dalam doa. Imam Shamsi Ali mengajak mereka: “Mari kita mulai dengan bacaan Al-Fatiha.” Ada tempat di mana kemenangan politik berjumpa dengan kemenangan spiritual. Ada saat di mana perubahan struktural berakar pada perubahan hati.
Narasi ini juga mengajak kita merenung: bahwa kemenangan seseorang — atau kemenangan sebuah gerakan — tidak lahir dari vacuum. Ia lahir dari pengorbanan, dari tantangan, dari menolak diam ketika yang benar tak dilakukan.
Mamdani telah menegaskan bahwa masalah pemilikan rumah, hak warga, kesenjangan sosial bukanlah takdir alamiah, melainkan pilihan politik.
Namun, kemenangan itu tak menjamin mudahnya jalan: bahkan sebelum kemenangan resmi diraih, tekanan, stereotip, dan serangan terhadap latar belakangnya muncul.
Dan di sinilah doa menjadi penguat: ketika kekuatan manusia terbatas, doa menghubungkan dengan yang Maha Kuasa. Dan Al-Fatiha menjadi pengingat bahwa kita bergantung bukan hanya pada strategi kita, tetapi pada Rahmat dan Pertolongan-Nya.
Imam Shamsi Ali yang saya kenal, dalam berbagai ceramahnya menghubungkan ibadah, dzikir, dan perubahan sosial. Ia menekankan bahwa “puasa itu kunci terkabulnya doa” karena melalui pengekangan diri manusia dekat dengan Yang Maha Dekat.







br






