Festival Puisi Esai Jakarta ke-3, 2025 memilih tema
“Kembali Mencintai Bumi Setelah Sumatra Menangis.”
Kita membutuhkan lebih dari sekadar laporan bencana.
Kita menginginkan bahasa yang bisa membuka hati.
Bahasa yang memulihkan ingatan kita sebagai makhluk yang memiliki rumah,
bukan hanya tempat berteduh, tetapi ibu kandung.
Tema ini penting bukan hanya untuk sastra, tetapi untuk peradaban. Karena sebelum kebijakan lahir,
harus ada kesadaran yang tumbuh.
Dan kesadaran tidak tumbuh dari hitungan kerugian,
tapi dari kisah manusia.
Kisah yang membekas,
kisah yang membuat kita menunduk, kisah yang membuat kita menangis lalu bergerak.
Sastra, termasuk puisi esai,
adalah cara umat manusia memelihara nurani.
-000/
Festival bukan hanya dan sekadar tatap muka. Dalam abad digital, festival adalah arus kesadaran kolektif,
suara-suara dari ribuan manusia yang beresonansi
melintasi layar, ruang tamu, dan ruang batin.
Karena itu, sejak 2025,
Festival Puisi Esai Jakarta memilih format baru: tatap muka hanya tiga tahun sekali,
namun setiap tahun tetap bergerak melalui lomba, pembacaan, penulisan, dan advokasi.
Festival adalah perayaan akal dan rasa. Ia tidak dibatasi gedung atau panggung,
tetapi oleh kesediaan kita untuk hadir sebagai manusia yang peduli.
Festival yang sungguh mencintai bumi tidak berhenti pada tepuk tangan dan cahaya panggung. Ia menjelma dalam keputusan-keputusan kecil yang diambil setelah acara usai.
Misalnya, penulis yang memilih meneliti jejak izin tambang di kampungnya, pembaca yang mulai mempertanyakan dari mana kayu rumahnya berasal.
Peserta memastikan sebagian dana dan perhatian mengalir kembali ke desa-desa yang kini hidup di tepi jurang bencana.
Di titik-titik sunyi setelah keramaian itulah kata-kata diuji: apakah ia hanya indah di spanduk, atau benar-benar mengubah cara kita menatap tanah di bawah kaki.
-000-
Dan tahun ini, festival hidup melalui enam kegiatan,
tiga lomba besar dan tiga program kreatif, yang semuanya diarahkan pada satu seruan:
Mari cintai bumi sebelum ia berhenti melundungi kita selayaknya ibu kandung.
1. Lomba Membaca Puisi Esai: “Cintai Lingkungan Hidup”
Para peserta lomba diminta membaca puisi esai
“Bukit Itu Menangis Menimbun Satu Keluarga,” karya Denny JA, di platform apa pun: YouTube, TikTok, Instagram, Facebook.
Puisi esai itu dilampirkan melalu link di bagian akhir esai ini.
Pembacaan ini bukan sekadar membaca puisi. Ia adalah ritual ingatan, bahwa di balik setiap longsor ada nama-nama,
ada pakaian terakhir yang belum sempat kering,
ada doa yang tak sempat selesai.












