Kartini 4.0: Empowerment atau Eksploitasi?

Selain itu, Kartini 4.0 tidak hanya kritis, tetapi juga kreatif dalam membangun narasi tandingan. Kreator perempuan berdaya menciptakan konten yang memperlihatkan sisi lain: edukasi, inspirasi, dan transformasi. Mereka menulis buku, membuat podcast, mengadakan webinar, dan membuat konten serial edukatif di TikTok, Instagram, facebook, thread atau YouTube. Contoh Nadira Azzahra, content creator asal Makassar, secara konsisten membahas tentang kesehatan reproduksi, menstruasi, dan seksualitas perempuan dengan cara yang ringan dan edukatif di TikTok. Kontennya menjadi jembatan informasi yang selama ini tabu, khususnya bagi perempuan muda di daerah.

Secara kolektif dalam konteks lokal Makassar, muncul berbagai komunitas perempuan kreatif yang patut diapresiasi, seperti forum kreator lokal, kelas literasi digital, dan gerakan kampus yang mengangkat isu KBGO. Juga ada Komunitas seperti Perempuan Berkisah Sulsel, Komunitas Bersuara, dan beberapa kreator lokal yang menggunakan platform mereka untuk mengangkat isu-isu perempuan Sulsel: dari pernikahan anak, akses pendidikan, hingga kesehatan reproduksi di daerah pinggiran. Namun sinergi dengan pemerintah daerah, media, dan institusi pendidikan masih perlu ditingkatkan agar gerakan ini tidak hanya sesaat.

BACA JUGA:  Dua Penulis Bersua Saat Salat Jenazah

Penutup : Kartini Ada Di Sekitar Kita

Kartini tidak lagi berselendang dan berkebaya, tapi mungkin mengenakan hoodie sambil mengetik naskah konten, menyusun video edukasi, atau menyuarakan keadilan gender lewat Twitter, Instagram, Facebook, thread, TikTok dan youtube. Mereka adalah Kartini 4.0 yang kritis terhadap struktur yang menindas, kreatif dalam menyampaikan pesan, dan kolektif dalam memperjuangkan ruang aman. Kartini modern bukan hanya mereka yang viral. Kartini adalah perempuan yang berani berbicara di ruang keluarga, mengadvokasi teman yang jadi korban pelecehan, atau mengedukasi satu orang lewat satu konten kecil. Satu suara bisa menyulut ribuan perubahan.

Hari Kartini seharusnya menjadi pengingat bahwa ruang digital yang tampak bebas sebenarnya juga penuh jebakan. Ruang digital harus diupayakan agar menjadi ruang aman dan setara. Tanpa itu, “pemberdayaan” hanya akan jadi topeng dari “eksploitasi” baru yang membungkus tekanan lama dalam bentuk baru: lebih canggih, lebih halus, tapi tetap menindas.

Selamat Hari Kartini. Perjuangan belum selesai, tapi semakin banyak yang ikut serta. (***)